Minggu, 08 Mei 2011

PILAR SADHANA III : Pikiran yang bebas dari Sad Ripu [enam kegelapan bathin]

KATHA UPANISHAD - BAB I, BAGIAN 3 [Adhyaya I, Valli 3]

[Sloka 1]
ṛtam pibantau sukṛtasya loke guhᾱm praviṣṭau parame parᾱrdhe,
 chᾱyᾱ-tapau brahma-vido vadanti, pañcᾱgnayo ye ca tri-ṇᾱciketᾱḥ.
Seperti cahaya dan bayangan, ada dua kesadaran. Satu disini di bumi tunduk kepada hukum semesta karena keinginannya, yang satu lagi seolah tersembunyi di tempat rahasia yang tidak terbayangkan. Demikianlah kata orang bijak yang mengetahui Brahman, yang memelihara lima api dan tiga api naciketa.

[Sloka 2]
yas setur ījᾱnᾱnᾱm akṣaram brahma yat param, abhayam titīrṣatᾱm pᾱram nᾱciketaṁ śakemahi.
Kita selayaknya mengendalikan api naciketa. Karena ia ibarat jembatan bagi mereka yang melaksanakan jnana yajna, guna mencapai daratan yang lebih jauh, yang tidak terjangkau oleh rasa takut. Jembatan menuju Brahman, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan tidak terbatas.

[Sloka 3]
ᾱtmᾱnaṁ rathinaṁ viddhi, śarīraṁ rathameva tu:
buddhiṁ tu sᾱradhiṁ viddhi, manaḥ pragraham eva ca.
Ketahuilah perumpamaan [kereta kuda] ini. Atman adalah apa yang tersembunyi di baik seluruh fenomena kereta kuda, badan fisik kita adalah kereta kuda, kesadaran adalah kusir kereta kuda dan pikiran adalah tali kekang yang mengendalikan arah kereta kuda tersebut.

[Sloka 4]
indriyᾱṇi hayᾱn ᾱhur viṣayᾱṁs teṣu gocarᾱn,
ᾱtmendriya-mano-yuktam bhoktety ᾱhur manīṣiṇaḥ.
Indriya-indriya adalah kuda-kuda dari kereta, obyek-obyek indriya adalah jalanan yang ditempuh. Apa yang dipersepsikan oleh badan fisik, indriya dan pikiran - orang bijak menyebutnya sebagai “sang aku” yang menikmati.

[Sloka 5]
yas tv avijñᾱnavᾱn bhavaty ayuktena manasᾱ sadᾱ,
tasyendriyᾱṇy avaśyᾱni duṣṭᾱśvᾱ iva sᾱratheḥ.
Mereka yang tidak memahami pengetahuan ini, yang pikirannya tidak dikendalikan secara disiplin, indriya-indriya mereka sulit dikendalikan, seperti kusir kereta kuda yang mengendarai kereta dengan kuda-kuda sangat liar.

[Sloka 6]
yas tu vijñᾱnavᾱn bhavati, yuktena manasᾱ sadᾱ,
tasyendriyᾱṇi vaśyᾱni sadaśvᾱ iva sᾱratheḥ.
Sebaliknya mereka yang menyadari riak-riak pikiran, pikiran mereka terkendali, indriya-indriya mereka terkendali dan sang kusir menjadi pengendali tali kekang dan kuda-kuda yang baik.

[Sloka 7]
yas tv avijñᾱnavᾱn bhavaty amanaskas sadᾱ’śuciḥ
na sa tat padam ᾱpnoti saṁsᾱraṁ cᾱdhigacchati.
Mereka yang tidak memahami pengetahuan ini, yang tidak sadar dan tidak murni, tidak akan merealisasi kesadaran tertinggi, melainkan terus-menerus terjebak dalam roda samsara.

[Sloka 8]
yas tu vijñᾱnavᾱn bhavati samanaskas sadᾱ śuciḥ,
sa tu tat padam ᾱpnoti yasmᾱt bhῡyo na jᾱyate.
Sebaliknya mereka yang menyadari riak-riak pikiran, yang selalu sadar dan murni, mereka merealisasi kesadaran tertinggi dan tidak terlahir kembali.

[Sloka 9]
vijñᾱnasᾱrathir yastu manaḥ pragrahavᾱn naraḥ,
so’dhvanaḥ param ᾱpnoti tad viṣṇoḥ paramam padam.
Mereka yang kusir-nya yang memimpin kereta, yang mengenali dan menyadari riak-riak pikirannya, akan sampai kepada tujuan, pembebasan sempurna.

[Sloka 10]
indriyebhyaḥ parᾱ hy arthᾱ, arthebhyaś ca param manaḥ,
manasaś ca parᾱ buddhir buddher ᾱtmᾱ mahᾱn paraḥ.
Melampaui indriya adalah obyek-obyek indriya.
Melampaui obyek-obyek indria adalah pikiran.
Melampaui pikiran adalah kebijaksanaan.
Melampaui kebijaksanaan adalah kesadaran.

[Sloka 11]
mahataḥ param avyaktam, avyaktᾱt puruṣaḥ paraḥ
puruṣᾱn na paraṁ kiñcit: sᾱ kᾱṣṭhᾱ sᾱ parᾱ gatiḥ.
Melampaui kesadaran adalah yang tidak termanifestasi.
Melampaui yang tidak termanifestasi adalah purusha [Brahman].
Setelah purusha tidak ada lagi.
Itulah tujuan akhir yang tertinggi.

[Sloka 12]
eṣa sarveṣu bhῡteṣu gῡdho’tmᾱ na prakᾱśate,
dṛśyate tvagryayᾱ buddhyᾱ sῡkṣmayᾱ sῡkṣma-darśibhiḥ.
Inilah Brahman yang tersembunyi dibalik segalanya, hanya bisa diketahui oleh para yogi, melalui bathin mereka yang telah sadar.

[Sloka 13]
yacched vᾱṅ manasī prᾱjñas tad yacchej jñᾱna-ᾱtmani,
jñᾱnam ᾱtmani mahati niyacchet, tad yacchec chᾱntav-ᾱtmani.
Orang bijak mengendalikan perkataan dan pikirannya, mengarahkannya menjadi kesadaran diri [atma jnana] dan mengarahkan kesadaran diri menuju realitas absolut. Dalam keheningan yang abadi.

[Sloka 14]
uttiṣṭhata jᾱgrata prᾱpya varᾱn nibodhata:
kṣurasya dhᾱrᾱ niśitᾱ duratyayᾱ; durgam pathas tat kavayo vadanti.
Bangkitlah ! Bangunlah ! Kamu telah meraih anugerahmu. Kenali dan pahami anugerah itu. Tajam seperti mata pisau silet, sulit diseberangi. Raihlah kembali kesejatian diri walaupun jalan ini susah, kata para yogi

[Sloka 15]
śabdam asparśam arῡpam avyayam tathᾱ arasaṁ nityam agandhavac ca yat
anᾱdy anantam mahataḥ paraṁ dhruvaṁ nicᾱyya tam mṛtyu-mukhᾱt pramucyate.
Dengan memahami dan mengenali yang tanpa suara, tidak tersentuh, tidak berbentuk, tidak pernah rusak, tanpa cita rasa, tanpa bau, tidak dipengaruhi waktu, tidak berawal dan tidak berakhir, melampaui segalanya, seimbang sempurna, seseorang terbebaskan dari kematian-kelahiran.

[Sloka 16]
nᾱciketam upᾱkhyᾱnam mṛtyu-proktaṁ sanᾱtanam
uktvᾱ śrutvᾱ ca medhᾱvī brahma-loka mahīyate.
Kisah nachiketa ini adalah ajaran kuno dewa kematian [Dewa Yama]. Dengan mendengar lalu mengajarkan kembali kepada yang lain, seseorang akan meraih keagungan di alam para dewa.

[Sloka 17]
ya imam paramaṁ guhyaṁ śrᾱvayed brahma-saṁsadi
prayataḥ śrᾱddha-kᾱle vᾱ tad ᾱnantyᾱya kalpate, tadᾱnantyᾱya kalpate.
Mereka yang melantunkan mantram rahasia tertinggi ini, dengan para pandita atau sendirian saja dengan penuh bhakti pada upakara kematian seseorang, bisa membantu yang meninggal menuju keabadian yang tidak terbatas.

PENJELASAN

Katha Upanishad kemungkinan ditulis antara tahun 1400 SM s/d tahun 500 SM. Terdiri dari 2 Bab [Adhyaya], yang masing-masing Bab terdiri dari 3 Valli [bagian] dan masing-masing bagian ini terdiri dari 15 s/d 29 sloka. Katha Upanishad berisi kisah tentang anak dari Vajasravasa bernama Nachiketa dan pertemuannya dengan Dewa Yama [dewa kematian], yang kemudian mengajarkannya tentang rahasia tertinggi.

Dalam Bab I Bagian 3, ajaran tentang hakikat sejati sang diri disampaikan dalam bentuk analogi cahaya dan bayangan, serta analogi kereta kuda.

1. Analogi Cahaya dan bayangan.

Keseluruhan alam semesta dalam Brahman terdiri dari dua realitas : Purusha - realitas absolut [kesadaran murni] dan Prakriti - fenomena alam materi. Purusha laksana cahaya dan Prakriti laksana bayangan-Nya.

Purusha adalah kesadaran murni. Mutlak, tidak tergantung, bebas, tidak terasa, tidak kelihatan, diluar semua pengalaman dan diluar semua kata-kata dan penjelasan. Tidak terpikirkan. Kesadaran tanpa sifat yang selalu murni. Purusha tidak berasal dari sesuatu dan tidak menghasilkan / menimbulkan sesuatu.

Prakriti [kata-kata dalam bahasa manusia yang paling mendekati adalah energi. Jadi Prakriti bisa disebut sebagai "shakti" atau divine energy [energi ilahi]. Prakriti adalah penyebab awal dari seluruh fenomena alam materi, seluruh dimensi alam semesta -dan segalanya-, kecuali purusha, yang tidak memiliki penyebab maupun menjadi sebab. Prakriti menjadi sumber asal dari apapun yang bersifat material [fisik] dan energi.

Hal ini juga dibabarkan dalam Rig Veda, pada sloka : “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [Rig Veda 2.72.4] - dari aditi [materi] asalnya daksa [energi] dan dari daksa [energi] asalnya aditi [materi] - Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.

Purusha dan Prakriti ada bersama-sama [sebagai satu kesatuan] dalam Brahman dan sifatnya abadi. Setiap kejadian material [fisik] dan energi adalah perwujudan dari dinamika Prakriti [fenomena alam materi], termasuk yang terjadi pada setiap lapisan tubuh [kosha] kita -lapisan badan dan lapisan pikiran-. Sedangkan eksistensi setiap mahluk hidup sejatinya adalah Purusha [kesadaran murni] yang tidak terbatas, tidak terpikirkan dan tidak terpengaruh oleh tubuh. Eksistensi mahluk hidup atau "sang aku" mengalami pembebasan [moksha] ketika "sadar" akan perbedaan Purusha dan Prakriti.

2. Analogi Kereta Kuda.

Atman / Brahman adalah apa yang seolah tersembunyi di baik seluruh fenomena kereta kuda. Kesadaran ibarat kusir kereta kuda yang memimpin. Pikiran ibarat tali kekang yang mengendalikan kereta kuda tersebut. Indriya-indriya ibarat kuda-kuda dari kereta. Obyek-obyek indriya ibarat jalanan yang ditempuh.



Ketika indriya-indriya [kuda-kuda] yang mengendalikan kereta [pemuasan badan], keretanya akan salah jalan dan bisa masuk jurang. Ketika tali kekang [pikiran] yang mengendalikan kereta, keretanya juga bisa salah jalan dan masuk jurang. Terutama karena banyak manusia dan mahluk yang salah pikiran. Dan salah pikiran yang akan membuat kita masuk jurang adalah : keangkuhan, kemarahan, kebencian, sikap permusuhan, serakah, sakit hati, mementingkan diri sendiri, iri hati, tidak pernah puas, selalu membandingkan dengan yang lebih tinggi, tidak pernah bersyukur, dll. Jangankan urusan uang atau kursi kekuasaan, urusan agama-pun juga ada orang yang bertengkar dan bermusuhan. Itu karena salah pikiran.

Tali kekang dan kuda-kuda ini sangat liar. Ketika kita belajar mengendalikannya, diri ini seolah melawan dan memberontak.

- Ketika biasa mengumbar nafsu, ada perlawanan ketika mulai belajar mengendalikannya.
- Ketika biasa marah-marah, ada perlawanan ketika mulai belajar sabar.
- Ketika biasa membenci, ada perlawanan ketika mulai belajar menyayangi.
- Ketika biasa makan yang enak-enak, ada perlawanan ketika mulai menjaga jarak dengan makanan.
- Ketika mulai belajar meditasi, diri ini selalu mengeluh : capek, pegal, kaki sakit dan tidak konsen.
- Ketika biasa serakah dan memikirkan diri sendiri, ada perlawanan diri ketika mulai belajar berbagi kebaikan.

Inilah tanda-tanda bagaimana tali kekang dan kuda-kuda ini menolak untuk dikendalikan. Dan merupakan tahap terberat dan tersulit. Jangankan orang yang baru mulai, orang yang sudah dianggap "suci"-pun bisa jatuh kembali ke tingkat dasar ini.

Hanya ketika kusir [kesadaran] yang memimpin kereta [selalu sadar dan menyadari riak-riak pikiran dan nafsu indriya], kita bisa sampai di tempat tujuan dan terbebaskan.

MENCARI KESELAMATAN DI JAMAN GELAP [JAMAN KALI]

Hidup di jaman sekarang, godaan diluar banyak sekali. Mulai dari godaan narkoba, godaan seks, godaan perselingkuhan, godaan uang [korupsi, penipuan, pencurian, dll], godaan kekuasaan dan banyak lagi lainnya. Orang-orang yang bathinnya penuh lumpur kegelapan bathin, hidupnya akan kepanasan. Ada yang mengeluh mengenai kekurangan uang, ada yang mengeluh mengenai istri yang tidak memuaskan, ada yang mengeluh mengenai pemerintah, ada yang mengeluh mengenai tetangga, dll, macam-macam keluhannya.


Di jaman dimana keadaan hidup serba panas, itulah tanda-tanda awal dari jaman penuh kegelapan. Kita janganlah sampai ikut larut oleh kegelapan jaman. Dan cara agar kita selamat dan tidak larut oleh arus gelapnya jaman yang berbahaya adalah : hati-hati dan waspadalah dengan sad ripu [enam kegelapan bathin]. Biarkan kesadaran yang memimpin, sehingga kita bisa selamat sampai di tempat tujuan yang sejati, di dalam mengarungi kehidupan ini.

ATMA JNANA [KESADARAN ATMAN]

Sad Ripu [enam kegelapan bathin] bukanlah realitas diri kita yang sejati. Sad Ripu bagaikan awan-awan gelap yang menutupi realitas diri kita yang sejati. Seluruh Sad Ripu berakar dari ahamkara [ke-aku-an] dan vasana [kecenderungan pikiran]. Ketika Sad Ripu sepenuhnya lenyap dari bathin kita, itulah yang dalam vedanta disebut sebagai jivan-mukti dan disanalah akan terbuka rahasia tentang realitas diri kita yang sejati [siapakah sebenarnya diri kita ini].

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
8 Agustus 2010

Sad Ripu 1 : MATSARYA [iri hati / dengki]


Iri hati adalah jenis kekotoran bathin yang paling gelap. Kalau dalam pikiran kita masih ada rasa iri hati, itu pertanda kekotoran bathin kita masih sangat pekat. Apalagi kalau sudah terkena "penyakit SMS" [susah melihat orang senang, senang melihat orang susah]. Dan kalau kita tidak mau kehidupan maupun kematian yang juga gelap, ini musti cepat-cepat kita bersihkan.

Mengapa disebut kekotoran bathin masih sangat pekat ? Coba bayangkan bila kita berhadapan dengan orang yang masih kuat iri hati-nya seperti ini -yang kekotoran bathin-nya masih sangat pekat-, kita dibuat serba salah. Kalau kita lebih rendah, dia akan menghina. Kalau kita sederajat, dia akan bersaing. Kalau kita lebih tinggi dia akan iri hati. Semua tindakan atau posisi kita menjadi serba salah. Sehingga hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah diam sempurna.

MENGELOLA IRI HATI / DENGKI UNTUK STANDAR ORANG BIASA

1. RASA IRI HATI ITU DILAWAN. Caranya macam-macam, misalnya rasa iri hati itu diperangi dengan ajaran agama, atau diperangi dengan takut hukum karma. Kalau cocok silahkan gunakan cara ini. Akan tetapi seringkali cara ini kurang efektif, karena cara ini menciptakan konflik baru di dalam bathin kita.

2. RASA IRI HATI ITU DIKELOLA. Pahami iri hati itu sebagai sejenis energi. Misalnya laksana api. Energi ini tergantung kita, bisa memakainya atau tidak. Di tangan orang yang pintar memasak, api itu berguna membuat beras menjadi nasi, sayuran jadi capcai. Tapi di tangan anak-anak yang tidak tahu bagaimana menggunakan api, api bisa berbahaya dan membuat rumah jadi terbakar. Nah, dalam hal ini juga sama, sekarang tergantung bagaimana kita menggunakan iri itu sebagai energi di waktu dan tempat yang tepat.

Mengapa ada orang iri hati ? Orang yang iri, dengki, itu di dalam dirinya energi-nya tinggi atau bahkan berlebihan. Dia tidak punya media dan tempat untuk mengekspresikannya. Ini seperti pisau di dapur, kalau kita bisa memakainya, dia berguna untuk memotong bawang dan bahan masakan lainnya. Tapi kalau kita tidak bisa memakai, bisa jadi berbahaya dan orang lain kita tusuk. Sehingga salurkanlah energi ini. Kemana disalurkan ? Gunakan energi iri hati ini untuk hal yang baik. Misalnya : iri sama tetangga yang kaya, jangan fokus sama tetangga itu. Sekarang belajar yang keras, bekerja yang keras, biar kita bisa sama kaya-nya dengan dia. Iri sama rekan kerja yang sukses, jangan fokus sama rekan kerja itu, belajar yang keras, bekerja yang keras, kelak waktu yang akan membawa kita sama suksesnya dengan dia, dll.

Lebih mulia lagi kalau kita bisa menggunakan energi berlebihan ini ke arah yang terang. Misalnya : kerja sosial, membantu orang lain, ngayah di pura, dll. Itu cara menggunakan energi iri biar positif, biar dia tersalurkan gunakan ke arah yang tepat dan berguna.

Selamat datang di jalan dharma yang sesungguhnya.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
19 Juni 2010

Sad Ripu Bagian 2 : KRODA [kemarahan / kebencian]




PEMAHAMAN YANG BENAR
Langkah penting pertama adalah belajar memahami situasi secara benar. Kalau cara memandangnya benar kita melangkahnya akan benar, kalau cara memandangnya salah kita melangkahnya juga salah. Kita akan melangkah menjadi baik, kalau cara memandang kita baik. Di bawah ini adalah cara memandang secara baik dan benar :

A. Mereka orang yang baik.

1. Kalau ketemu orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, lihatlah mereka sebagai ORANG BAIK. Mereka menyediakan dirinya untuk menjadi guru dharma tertinggi untuk kita secara gratis. Karena orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, mereka sesungguhnya sedang membuat kita menjadi sabar dan bijaksana. Tidak mungkin kita menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan paham dan hafal buku suci. Tidak mungkin kita menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan belajar dari satguru. Kesabaran dan kebijaksanaan paling mungkin diajarkan oleh orang yang mencaci dan menyakiti kita. Tapi dengan syarat, kita bisa diam dan tidak marah. Sebab kualitas bathin kita tidak mungkin bisa bertambah bersih kalau kita tidak pernah dicaci, dihina dan disakiti. Sehingga orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita bukanlah racun dalam kehidupan kita, tapi kekuatan kebaikan yang membukakan cahaya kesadaran di dalam diri kita.

2. Kalau ketemu orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, lihatlah mereka sebagai ORANG BAIK. Sebab hanya untuk membuat kita menjadi sabar dan bijaksana, mereka rela menanggung karma buruk dari perbuatan mereka itu.

Kalau ”orang jahat” saja bisa kita lihat sebagai orang baik, tidak ada tempat di segala penjuru semesta ini yang tidak menghadirkan Hyang Widhi.

3. Kalau ketemu orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, lihatlah mereka sebagai ORANG BAIK. Sebab mereka menyediakan barometer gratis untuk mengukur kualitas kebersihan bathin kita sendiri. Kalau kita belum bisa memancarkan cahaya welas asih dan kebaikan kepada orang-orang yang menyakiti kita, itu pertanda bathin kita belum sepenuhnya bersih. Karena jiwa yang bersih sempurna, dia bisa memancarkan kasih sayang bahkan kepada orang yang mencaci, menghina dan menyakiti.

B. Mereka orang yang sedang menderita

Kalau ketemu orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, yakinlah mereka itu ORANG YANG SEDANG MENDERITA. Sebab kemarahan, kebencian dan dendam itu suatu bentuk penderitaan bathin. Kalau kita memahami mereka sebagai orang jahat, yang muncul dari bathin kita adalah kemarahan. Tapi kalau kita bisa memahami mereka sebagai orang yang sedang menderita, yang sedang memerlukan kasih sayang kita, yang muncul dari bathin kita adalah cahaya welas asih dan keinginan untuk menyayangi.

Sehingga kalau kita ketemu sama orang yang "nggak bener", kita jangan marah-marah kepada mereka. Lihat mereka sebagai mahluk yang sedang menderita, yang memerlukan welas asih kita. Dan di masa depan ada putaran waktunya sendiri mereka juga akan melaksanakan dharma.

MEMBAYAR HUTANG KARMA

Langkah penting kedua adalah menyadari tentang hukum karma. Salah satu sebab kita lahir ke dunia adalah karena kita harus membayar hutang karma. Sehingga kalau kita berharap di semua putaran waktu hanya ada orang baik saja dan tidak ada orang-orang yang menyakiti kita, kita akan kecewa berat, lalu kemarahan-pun muncul. Jadi lihatlah apa sebenarnya makna dari kehadiran mereka yang mencaci, menghina dan menyakiti kita ?

Kalau ketemu orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita, yakinlah bahwa KITA SEDANG MEMBAYAR HUTANG KARMA. Dalam ratusan ribu atau bahkan jutaan kelahiran kita sebelumnya, mereka pernah menjadi ibu kita, bapak kita, orang-orang di sekitar kita atau bahkan mereka pernah kita bunuh di jaman barbar dulu. Semuanya pernah kita sakiti. Dan itu jumlahnya tidak terhitung, tidak terhingga.

Jatuh sakit, kena musibah dan disakiti orang lain adalah kesempatan untuk membayar hutang karma. Hutang karma kita kepada orang lain, mahluk lain, alam semesta dan kesalahan2 masa lalu. Siapa saja yg melawannya dengan protes dan kemarahan, tidak saja gagal membayar hutang karma, tapi bisa jadi malah membuat hutang karma yg baru. Sebaliknya siapa saja yang bisa menyambutnya dengan damai, penuh welas asih dan hati yang bersih, ia sedang membayar hutang karma untuk kemudian bebas.

TEHNIK SEDERHANA MEREDAM KEMARAHAN

Memang awal-awalnya kita mulai belajar, kalau dicaci hati kita terasa sakit. Kalau disakiti hati kita terasa sakit. Dalam hal ini ada beberapa tehnik sederhana yang bisa kita pelajari dan laksanakan :

1. Belajarlah diam dan tidak marah. Kemarahan itu jangan kita ikuti, sebab kalau kita ikuti bisa tidak terkendali jadinya.
2. Sadari dalam pikiran kita kalau kita sedang marah. Dengan begitu kita lebih bisa mengontrol diri.
3. Tutup mulut rapat-rapat. Kalau mulut kita terbuka, kata-kata yang keluar bisa memanaskan situasi dan menjadi semakin tidak terkontrol.
4. Diam sekuat-kuatnya [kalau masih bisa]. Tapi kalau tidak bisa [kita merasa tidak tahan dengan orang itu], segeralah pergi menjauh. Pergilah ke tempat-tempat yang "sejuk" [misalnya : sanggah, pura, taman yang sepi]. Jangan pergi ke tempat-tempat yang "panas" [misalnya : pergi ke tempat orang yang akan malah mengompori dan memanas-manasi kita].
5. Lakukan pranayama [tarik nafas keluar-masuk dalam-dalam secara teratur].
6. Amati dan sadari gerak-gerik pikiran kita sendiri. Sadari kalau kita sedang marah.

Setelah melewati jangka waktu yang panjang bisa seperti itu, suatu hari nanti kita akan mengerti bahwa kemarahan dan sad ripu lainnya itu hanya ilusi-ilusi pikiran [manas] kita saja. Dan disaat itulah kita menjadi sabar dan bijaksana.

AKAR PENYEBAB KRODA [KEMARAHAN]

Seluruh Sad Ripu berakar dari ahamkara [ke-aku-an]. Inti ke-enamnya adalah : aishana [keterikatan] atau penolakan yang muncul dari ”sang aku”.

Misalnya :

1. Suatu hari ada yang memaki kita : ”kamu bangsat, anjing, setan”. Apa reaksi umum kita ? Kita-pun menjadi MARAH BESAR. Mengapa kita marah ? Apa karena kata-katanya kasar dan menghina ? Lalu bayangkan kalau makian yang sama ditujuan kepada orang yang sama sekali tidak kita kenal. Apa reaksi umum kita ? Kita TIDAK MARAH.

Mengapa pada kejadian pertama kita marah ? Kita marah karena yang dimaki itu AKU. Kita marah karena sang AKU melakukan perlawanan atau penolakan terhadap makian tersebut.

2. Suatu hari sepeda motor kita yang sedang parkir ditabrak orang sampai rusak. Apa reaksi umum kita ? Kita-pun menjadi MARAH BESAR. Lalu bayangkan kalau yang ditabrak itu sepeda motor milik orang lain yang sama sekali tidak kita kenal. Apa reaksi umum kita ? Kita TIDAK MARAH.

Mengapa pada kejadian pertama kita marah ? Kita marah karena yang ditabrak itu SEPEDA MOTORKU. MILIKKU. Kita marah karena sang AKU memiliki keterikatan atau rasa kepemilikan kepada sepeda motor itu.

Selamat datang di jalan dharma yang sesungguhnya.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
10 April 2010

Sad Ripu 3 : KAMA [hawa nafsu / keinginan]


MENGELOLA HAWA NAFSU / KEINGINAN UNTUK STANDAR ORANG BIASA

Untuk orang biasa seperti kita [bukan orang suci : yogi, pertapa, pemangku, pandita], keinginan memiliki dua wajah yang berbeda :

1. Sebagai energi pendorong yang menggerakkan diri kita sehingga bisa mengalami kemajuan.
2. Sebagai jebakan / perangkap kehidupan.

Sebagai orang biasa [orang duniawi], bisa dimaklumi kalau kita didorong oleh banyak keinginan, terutama dalam kaitan melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita sendiri. Yaitu sebagai suami / istri, sebagai orang tua, sebagai pelajar, sebagai anggota masyarakat sosial, dll. Dengan satu catatan : hindari keinginan itu tidak lagi berfungsi sebagai energi pendorong untuk hal yang baik dan mulia, tapi menjadi perangkap kehidupan.

Bagi orang biasa seperti kita, keinginan tidak selalu jelek atau buruk, asal kitalah yang mengendalikan keinginan itu dan bukan kita yang dikendalikan oleh keinginan. Misalnya : keinginan punya banyak uang bisa membuat kita bekerja tekun dan keras lalu menjadi kaya, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh keinginan : kita melakukan korupsi, mencuri atau menipu. Nafsu seks bisa membuat hubungan suami-istri menjadi indah dan harmonis, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh nafsu seks : kita selingkuh atau cari istri lagi. Keinginan untuk bermain atau bersenang-bersenang bisa membuat kita gembira, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh keinginan maka svadharma [tugas-tugas kehidupan] kita terabaikan, lalu semuanya jadi berantakan. Dll.

Hawa nafsu dan keinginan memiliki banyak wajah. Ada keinginan untuk memiliki uang dan benda materi, keinginan untuk memuaskan indriya [badan], keinginan untuk bersenang-senang, keinginan untuk memiliki kekuasaan, keinginan untuk dihormati orang, keinginan untuk dicintai, dll. Tapi apapun bentuk keinginan tersebut, kalau kita tidak berhati-hati, semuanya bisa menjeruskan kita ke dalam jurang kegelapan bathin. Coba perhatikan orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan. Seks yang se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati semua orang, dll. Hidupnya pasti berguncang, tidak tenang, gelisah.

Usahakan keinginan berhenti hanya sebagai energi pendorong kemajuan. Bisa kita ibaratkan seperti memasak di dapur, kita memerlukan api untuk memasak, akan tetapi apinya terkendali. Ketika kita menempatkan keinginan sebagai api di dapur, sebatas untuk membuat makanan jadi masak, dia baik dan berguna. Akan tetapi kalau api-nya besar dan tidak terkendali, rumah [kehidupan] kita akan terbakar. Sehingga kalau ingin hidup yang damai sekaligus terang, ketika kita digerakkan oleh keinginan, keinginan itu terkendali.

Belajar membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bekerjalah dengan keras sesuai svadharma [tugas kehidupan] kita masing-masing, lakukan yang terbaik, jangan keluar dari dharma. Tapi apapun hasilnya, terimalah dengan senyum damai.

EVOLUSI BATHIN TERKAIT KAMA [HAWA NAFSU / KEINGINAN]

Tanpa menggunakan persepsi dualitas [baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah], para maharsi mengajarkan kalau manusia dan mahluk-mahluk lainnya berada pada tingkat pertumbuhan [evolusi] jiwa-nya masing-masing dalam roda samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang]. Dimanapun tingkatannya, semuanya sedang melakukan hal yang sama : bertumbuh. Ada 4 tingkatan evolusi jiwa, dalam kaitannya dengan hawa nafsu / keinginan, menuju paramashanti :

1. Orang yang keinginannya tidak terkendali.
Orang seperti ini keinginannya liar, tidak pernah puas. Ketika bisa punya mobil Kijang, dia bandingkan dengan mobil BMW. Ketika sudah bisa punya rumah, dia bandingkan dengan rumah mewah. Suami / istri dia banding-bandingkan dengan selebritis yang tampan / cantik. Mampu menghasilkan uang satu juta, dia bandingkan dengan uang lima juta. Sehingga keinginannya selalu tidak terpenuhi. Dia seperti berkejaran dengan bayangan sendiri. Kalau bayangan kita kejar, tentu kita tidak akan pernah ketemu. Orang seperti ini mudah sekali resah, gelisah dan marah-marah. Dan tentunya tidak akan bertemu shanti [kedamaian].

2. Orang yang keinginannya terpenuhi sementara.
Orang seperti ini merasa shanti [damai] semata-mata karena sebagian keinginannya terpenuhi. Akan tetapi sifatnya sangat sementara. Coba kita perhatikan, orang yang bisa beli HP model baru, senangnya paling lama dua bulan. Karyawan yang naik gaji, paling lama tujuh hari sudah kurang lagi. Damai karena paginya dimanja istri, sorenya rasa itu sudah hilang lenyap karena istri marah-marah. Damai karena dipuji / dihormati orang, kemudian rasa itu seketika hilang lenyap karena ada yang menghina kita. Damai karena bisa makan enak, sebentar lagi rasa itu sudah hilang karena ada klien yang komplain. Sehingga kedamaian bathinnya bersifat sangat goyah, umurnya tidak lama.

3. Orang yang penuh rasa syukur [shantosa].
Orang seperti ini merasa shanti [damai] karena rasa syukur yang mendalam, dalam setiap dualitas kehidupan. Tidak saja ketika suami / istri lagi baik ada rasa syukur, ketika suami / istri lagi marah-marah juga ada rasa syukur, karena suami / istri yang lagi marah sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Tidak saja ketika lagi banyak uang ada rasa syukur, ketika lagi bokek-pun juga ada rasa syukur, karena bokek sedang mengajarkan kita untuk menjadi rendah hati. Tidak saja ketika sedang sehat ada rasa syukur, ketika lagi sakit keras juga ada rasa syukur, karena sakit keras membuat kita banyak membayar hutang karma. Sehingga kedamaian bathinnya sifatnya mulai dalam dan kokoh.

4. Orang yang bathinnya damai sempurna [paramashanti].
Ini adalah tahapan menjadi orang suci. Dimana keinginan sepenuhnya lenyap, termasuk keinginan untuk menjadi suci ataupun mengalami pembebasan. Ketika seseorang berhenti digerakkan oleh keinginan, yang bekerja adalah hukum semesta. Dia mengalir sempurna dalam sungai kehidupan. Ketika seluruh keinginan sepenuhnya lenyap, ini yang dalam vedanta disebut sebagai paramashanti [kedamaian sempurna].

EVOLUSI JIWA DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN

Setiap orang dalam hidup ini bertumbuh. Bisa kita ibaratkan idealnya hidup ini seperti menanak nasi memakai kompor. Di awal menanak nasi kita perlu api yang besar. Tapi begitu airnya mendidih, airnya mau habis, apinya kita kecilkan.

Begitu pula dalam hidup ini, ketika kita masih muda dan kuat, umumnya apinya masih besar. Cirinya adalah kebahagiaan kita ada saat keinginan terpenuhi. Ingin punya motor, kemudian dapat motor, kita bahagia. Ingin punya rumah, kemudian dapat rumah, kita bahagia. Ingin gaji naik, kemudian gaji naik, kita bahagia [tahap dua].

Tapi begitu umur kita bertambah dan kita menua, apinya kita kecilkan. Cirinya kita tidak lagi bahagia karena keinginan kita terpenuhi, tapi karena rasa syukur dan ikhlas yang mendalam [tahap tiga].

Dan memasuki masa wanaprasta [melepas keduniawian] atau mendekati saat kematian, sangat bagus kalau seluruh keinginan kita sepenuhnya lenyap [tahap empat]. Tidak terbayang indahnya kalau di saat menjelang kematian, kita bisa menyambut kematian dengan pikiran yang hening sempurna, tanpa keinginan.

Selamat datang di jalan dharma yang sesungguhnya.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
9 Mei 2010

Sad Ripu 4 : MADA [mabuk / sombong / angkuh]


Ada berbagai jenis mabuk pikiran atau sombong [angkuh] ini, yaitu misalnya : Surupa [mabuk pikiran karena keunggulan tubuh fisik seperti : tampan, cantik, kuat], Dhana [mabuk pikiran karena keunggulan material, seperti : banyak uang, kaya, punya mobil baru, punya HP canggih, punya baju mewah], Guna [mabuk pikiran karena keunggulan pemikiran seperti : kecerdasan, kesucian, kebenaran agama], Kulina [mabuk pikiran karena identitas diri seperti : status sosial, garis keturunan / kasta, jabatan tinggi, jasa-jasa], Sura [mabuk pikiran karena makanan atau minuman yang mengganggu kesadaran seperti : minuman keras, narkoba], dll berbagai bentuk mabuk lainnya.

Tapi apapun bentuk mada [mabuk / sombong / angkuh] ini, adalah hal yang bisa menjadi batu penghalang menuju cahaya bathin yang terang. Dalam bathin manusia ada unsur bhuta kala [ashuri sampad] dan ada unsur dewa [daiwa sampad]. Nah, unsur mana yang lebih dominan kita sendiri yang memilih. Rendah hati menghidupkan unsur-unsur dewa dalam bathin kita, sombong dan menghina menghidupkan unsur-unsur ashura dalam bathin kita. Sekarang kita pilih sendiri : unsur mana yang mau dihidupkan ? Kalau unsur bhuta kala [ashuri sampad] yang kita hidupkan, jangankan setelah mati, sekarangpun kita akan bertemu neraka. Kalau unsur dewa [daiwa sampad] yang kita hidupkan, kita akan bertemu surga saat ini juga. Sehingga sudah selayaknya kita selalu bersikap rendah hati, agar kemudian kita bisa mulai berjalan menuju jalan yang terang.

BAGAIMANA MENGELOLA KESOMBONGAN YANG MUNCUL DALAM BATHIN

1. Selalu hati-hati dan waspada dengan segala hal yang bisa membuat ego [ahamkara] kita naik.

Orang yang punya kelebihan-kelebihan, dia sering dipuji dan dihormati. Salah satu yang musti kita waspadai dari dipuji dan dihormati : harga diri kita naik. Dan harga diri yang naik ini yang menjadi sumber kesombongan dan banyak keributan. Ketika harga diri ini naik dan kemudian tidak terpuaskan, kita mudah tersinggung dan suka bikin ribut. Orang-orang yang cenderung sering bikin ribut dan rusuh umumnya ciri-cirinya satu : memberikan harga tinggi terhadap dirinya. Setiap orang yang memberikan harga tinggi terhadap dirinya : dia akan gampang kecewa, dia mudah tersinggung atau bahkan marah-marah dan yang paling berbahaya : BIKIN RIBUT dan RUSUH.

Akar dari kesombongan dan seluruh Sad Ripu adalah ahamkara [ke-aku-an] atau ego. Ego untuk disebut benar, ego untuk disebut baik, ego bahwa kita lebih tinggi dan lebih hebat, dll. Sehingga hati-hati dan waspadalah dengan segala hal yang bisa membuat ego kita naik. Menjadi orang cerdas itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina yang kurang cerdas, bathin kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak musuh. Menjadi orang kaya itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina, bathin kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak musuh. Di jaman dimana orang-orang isinya hanya bertengkar, bertengkar dan bertengkar, susah kita menemukan orang rendah hati yang berani mengatakan : saya yang paling hina di tempat ini. Kebanyakan orang mengatakan : Orang lain hina, saya yang paling mulia di tempat ini. Orang lain salah, saya yang paling BENAR di tempat ini. Bahkan kesucian-pun bisa menjadi sumber kegelapan bathin yang bernama kesombongan ini.

Ciri orang yang perjalanan bathinnya jauh dan kesadarannya terang, sikapnya sangat rendah hati. Bagi orang-orang yang rendah hati, kalau ada yang bicara selalu didengarkan. Tidak hanya disini ada kebenaran, disana juga ada kebenaran. Karena tidak jaminan karena kita lebih tua, lalu perjalanan bathin kita lebih dalam dan jauh. Tidak jaminan karena kita lebih banyak belajar dan membaca buku suci, lalu perjalanan bathin kita lebih dalam dan jauh. Sama sekali tidak jaminan. Karena seberapa dalam perjalanan bathin kita ke dalam, itu adalah rahasia diri kita sendiri dengan yang maha tidak terpikirkan.

2. Sadari kalau semuanya adalah peran-peran kehidupan

Manusia punya putaran karma masing-masing. Seperti pohon cemara yang tumbuh di gunung, pohon kepala yang tumbuh di pantai. Kita tidak bisa memaksa cemara tumbuh di pantai dan kelapa tumbuh di gunung. Sehingga sebelum kita memberi label orang lain dengan sebutan rendah, hina atau kotor, sadari setiap orang punya putaran karma dan cara pertumbuhan jiwa yang berbeda.

Kalau hari ini kita merasa jujur, janganlah membenci orang yang tidak jujur. Siapa tahu suatu hari nanti keadaannya terbalik, kita yang tidak jujur. Kalau hari ini kita tampan dan kaya, janganlah menghina orang yang jelek dan miskin. Karena itu semua tidak kekal, sebentar lagi akan keriput dan reot. Kalau hari ini kita menjadi guru yang didengar banyak orang, janganlah sombong kepada orang yang tidak didengar. Karena kebenaran ada dimana-mana, siapa tahu justru kita yang salah.

Semua orang punya peran hidup masing-masing. Orang jelek berguna untuk membuat orang cantik terlihat jadi tambah cantik. Orang bodoh berguna untuk membuat orang cerdas terlihat jadi tambah cerdas. Orang jahat berguna untuk mengasah kesabaran orang baik. Sehingga sadari dalam-dalam dengan rendah hati, kalau semuanya punya peran hidup dan cara pertumbuhan jiwa masing-masing.

3. Sadari kalau tidak ada yang kekal.

Hidup ini seperti gelombang di lautan, naik-turun dan naik-turun. Mau gelombangnya tinggi [jabatan bagus, kaya-raya, terkenal, dll], mau gelombangnya rendah [miskin, jelek, bodoh, dll], begitu mencium bibir pantai gelombangnya merunduk. Demikian juga dengan hidup kita : mau kaya atau miskin, mau terkenal atau tidak, mau dianggap sebagai guru suci atau penjahat, mau pintar atau bodoh, suatu hari semuanya akan mati. Tapi menyangkut kematian ada dua macam kematian : mati yang sengsara dan mati yang indah & terang. Dan mati yang indah & terang adalah dia seperti gelombang yang mencium bibir pantai, ketika mencium bibir pantai dia merunduk rendah hati. 

Rendah hati-lah di depan kehidupan dan kematian, karena tidak ada yang kekal abadi. Ketika kita merasa senang berlebihan ketika grafik hidup kita diatas, siap-siap kita akan dibuat sengsara ketika grafik hidup kita turun. Menjadi pejabat tinggi [bupati, gubernur, dll] itu bagus, tapi kalau kita senang berlebihan apalagi sombong, siap-siaplah suatu hari kalau kita pensiun kita akan dibuat sengsara oleh jabatan masa lalu itu. Menjadi selebritis yang terkenal itu bagus, tapi hati-hati. Karena seorang selebritis sering dipuja-puji, sering dibilang menarik, sering dibilangin yang bagus-bagus, karena itu egonya jadi besar. Akibat ego besar, nanti ketika semuanya berlalu bathin kita menjadi sengsara, resah-gelisah.

Selalulah bersikap rendah hati karena tidak ada yang kekal, sehingga ketika semuanya harus berlalu kita sudah sangat siap dan bisa menyambutnya dengan damai dan rendah hati. Dan yang terpenting : dari sikap rendah hati inilah roda evolusi bathin bisa bergerak menuju penerangan.


Selamat datang di jalan dharma yang sesungguhnya.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
30 September 2010