Selasa, 10 Februari 2015

PILAR SADHANA IV : Karma Yoga sebagai sadhana

Dalam buku-buku vedanta, Karma Yoga [atau juga disebut Kriya Yoga] berarti merealisasi kesempurnaan melalui jalan kerja. Penjelasan singkatnya yaitu : melalui pelaksanaan svadharma [tugas kehidupan] kita masing-masing dengan sebaik-baiknya. Sebab sebagian besar dari kita dalam hidup ini bukanlah seorang yogi / pertapa / pendeta. Tapi melalui karma yoga, semua orang punya kesempatan yang sama untuk merealisasi pembebasan sempurna, moksha, manunggaling kawulo lan gusti. Dengan jalan seperti ini, tentu saja tidak harus meninggalkan pekerjaan, keluarga dan bahkan masyarakat untuk pergi bertapa di gunung, kecuali svadharma-nya memang demikian. Sebab sebenarnya kesadaran ada dimana-mana sekaligus juga kita bawa kemana-mana.

Setiap manusia lahir ke dunia membawa svadharma-nya sendiri sesuai dengan putaran karma-nya masing-masing. Dalam Karma Yoga, svardharma [tugas kehidupan] ini dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tapi dengan harapan [akan hasil] yang sangat terkelola. Dan lebih baik lagi kalau dilaksanakan dalam kesadaran [bathin yang hening]. Dalam bahasa Jawa : “rame ing gawe, sepi ing pamrih”.

RAME ING GAWE, SEPI ING PAMRIH

Kehidupan dan alam semesta berputar melalui hukum-hukum kerja. Tapi sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah apapun hasilnya dengan senyuman dan hati yang bersih. Sehingga yang tersisa persis seperti bagaimana hukum alam bekerja. : mengalir sempurna, terpusat pada proses yang sedang terjadi, tanpa terikat kepada hantu masa lalu dan harapan masa depan.

Laksana matahari, walaupun dipuji dikatakan sunset [matahari terbenam] itu sangat indah, atau sebaliknya dicaci-maki dikatakan matahari sangat panas dan mengganggu aktifitas, matahari tetap melaksanakan tugasnya dalam hening, memancarkan cahaya kehidupan, terbit dan terbenam setiap hari. Seperti halnya sungai, bagi sebagian orang ia dihormati sebagai sumber air untuk kehidupan, tapi kalau hewan liar lewat disana, hewan itu [maaf] membuang kotoran disana. Tapi diperlakukan bagaimanapun, sungai tetap melaksanakan tugasnya dalam hening, mengalir sempurna menuju lautan.

Laksanakan seperti bagaimana alam bekerja, dimanapun, kapanpun dan apapun svadharma kita saat itu. Suami menjadi suami yang baik, pelajar menjadi pelajar yang baik, pemulung menjadi pemulung yang baik, pengusaha menjadi pengusaha yang baik, pertapa menjadi pertapa yang baik, polisi menjadi polisi yang baik, dll. Ada satu kesamaan diantara semuanya : "menjadi semakin sempurna melalui jalan kerja". Soal hasil, sudah ada kekuatan mahasempurna yang mengaturnya. Keinginan-keinginan, keluhan-keluhan apalagi kemarahan, hanya akan membuatnya seseorang terlempar ke dalam pusaran kegelapan bathin.

Kalau svadharma kita wartawan, tugas kita adalah mengungkap sesuatu dengan netral dan penuh kejujuran. Kalau kita menulis berita yang tidak jujur karena kita menerima suap, kita akan dilempar ke dalam pusaran kegelapan bathin. Kalau svadharma kita dokter atau perawat, tugas kita adalah membuat orang-orang yang sedang sakit menjadi sembuh, tanpa pilih-pilih pasiennya kaya atau miskin. Kalau kita menjadi dokter atau perawat dengan motivasi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, kita akan dilempar ke dalam pusaran kegelapan bathin. Kalau svadharma kita pegawai hotel atau guide, tugas kita adalah melayani turis dengan sebaik-baiknya. Kalau kita menjadi pegawai hotel atau guide hanya mau melayani tamu dengan baik kalau dikasi tip atau dapat komisi, kita akan dilempar ke dalam pusaran kegelapan bathin.

Berusaha dan bekerja keras, tapi dengan harapan [akan hasil] yang sangat terkelola. Lebih baik lagi kalau bisa dilaksanakan dalam kesadaran. Bekerja adalah hukum semesta. Dengan bekerja manusia melakukan yoga. Secara lebih khusus karena melalui bekerja manusia sedang membuat Hyang Widhi menjadi nyata. Buah kelapa menjadi santan. Batu dan kayu menjadi rumah. Sampah menjadi pupuk. Mahasiswa menjadi sarjana. Orang sakit menjadi sembuh. Itu semua langkah-langkah kerja yang membuat Hyang Widhi menjadi nyata.

Lebih-lebih bila semua dilakukan dengan semangat anak-anak yang riang gembira, polos dan penuh rasa syukur. Tidak ada yang salah dengan keinginan dan harapan, sebab kalau dikelola dengan baik dia adalah sumber kekuatan kemajuan dan kehidupan. Tapi kedamaian, kebahagiaan dan kesadaran menjadi lenyap kalau sebagian besar hidup ini hanya diisi kegiatan berlari mengejar harapan dan keinginan. Tidak hanya melelahkan dan tidak punya arah, tapi juga tidak sampai dimana-mana.

Ada perasaan yang berbeda dalam bathin ketika tugas dan kerja dilaksanakan dengan harapan [akan hasil] yang sangat terkelola. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya berputar, namun rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh harmoni. Tidak saja dengan diri sendiri dan orang-orang sekitar kita, tapi dengan apapun manusia mudah “terhubung” ketika rasa syukurnya mengagumkan. Di mana semuanya [diri sendiri, sesama manusia, binatang, tumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari, dll] serba terhubung, sekaligus menyediakan “paramashanti” [kedamaian sempurna] di sebuah titik pusat dalam bathin kita.


MELAKSANAKAN SVADHARMA SECARA TEPAT

Hidup ini bisa disimbolikkan seperti mulut. Terdapat bagian yang keras [gigi] dan terdapat bagian yang lembut [lidah]. Gigi [yang keras] berguna untuk memotong dan mengunyah, lidah [yang lembut] berguna untuk merasakan. Keduanya musti dimanfaatkan pada situasi dan waktu yang tepat. Begitu juga halnya dalam melaksanakan svadharma kita di dalam keseharian, pelaksanaannya disesuaikan dengan panggilan svadharma kita masing-masing.

Kalau svadharma kita seorang yogi / pertapa / pendeta / pemuka agama, itu jelas bahwa setiap saat, sepanjang waktu, pikiran, perkataan dan perbuatan kita harus bersih, halus dan lembut. Karena seorang yogi / pertapa / pendeta / pemuka agama, menghantar banyak orang ke tempat yang mahasuci.

Kalau svadharma kita polisi / tentara, hendaknya bathin kita laksana seorang yogi, tapi tindakan kita laksana seorang ksatria. Maksudnya “di dalam” bathin kita sesuci dan sebersih mungkin, tapi “diluar” sikap dan tindakan kita tegas dan menegakkan aturan [hukum]. Sebagai seorang polisi / tentara, kalau tiba saatnya kita musti menembak penjahat, tembaklah dengan penuh rasa sadar. Seperti Arjuna di dalam Bhagavad Gita. Arjuna boleh membunuh di dalam peperangan dan terbebas dari hukum karma dengan dua kondisi :

1. Melaksanakan svadharma [tugas kehidupannya]-nya sendiri.
2. Dilakukan dalam kesadaran yang telah sempurna - ketika pikiran hening-. Tanpa pikiran aku dan kamu. Tanpa dualitas menang-kalah, hidup-mati, benar-salah, sukses-gagal. Yang dilihat hanya : Brahman.

Dalam svadharma type ini, kombinasi keras dan lembut adalah hal yang sesuai untuk svadharma kita sendiri, persis seperti lidah dan gigi. Asal menggunakannya di waktu yang tepat. Tentu akan kacau kalau dalam makan kita memotong dan mengunyah memakai lidah [yang lembut]. Begitu juga sebaliknya kalau dalam makan kita memakai gigi [yang keras] terus menerus.

Tapi bukan berarti kalau begitu kita sedikit-sedikit lalu memakai kekerasan. Tidak seperti itu. Karena keras dan lembut semua ada tempatnya masing-masing. Mulut sebagai simbolik kehidupan, ada yang lembut dan ada yang keras. Dengan satu catatan : ASAL DIGUNAKAN PADA TEMPAT DAN WAKTU YANG TEPAT.

Misalnya svadharma sebagai seorang atasan di kantor, kalaupun tiba saatnya harus marah kepada bawahan [untuk mendidik], sebaiknya dilakukan dengan penuh kesadaran. Dalam arti “diluar” kita memarahi [yang sifatnya mendidik], tapi "di dalam" kita tidak tersentuh, tetap bersih dan damai. Dan yang dimarahi juga hanya sebatas kesalahannya saja, jangan kepribadiannya. Svadharma sebagai orang tua di rumah, kalaupun tiba saatnya harus marah kepada anak kita [untuk mendidik], sebaiknya dilakukan dengan penuh kesadaran. Dalam arti “diluar” kita memarahi [yang sifatnya mendidik], tapi "di dalam" kita tidak tersentuh, tetap bersih dan damai. Dan yang dimarahi juga hanya sebatas kesalahannya saja, jangan menyinggung kepribadiannya.

KRIYA MENUJU KESEMPURNAAN HIDUP

Kerja adalah salah satu sarana yang baik untuk memahami sang diri dan kehidupan. Sebab saat kita bekerja, bukan saja kita mendapatkan biaya [ongkos] untuk kehidupan. Tapi dengan bekerja kita juga bisa menelusuri alur-alur kehidupan yang lebar dan panjang. Dengan bekerja kita bisa membuka wilayah-wilayah baru dalam kehidupan. Dan yang paling penting, melalui kerja kita bisa menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Apapun svadharma kita, ketika kita bekerja kita “berkomunikasi” dengan diri kita sendiri secara intens, terutama kalau kita mengalami banyak kegagalan. Kegagalan tidak hanya menghasilkan kesedihan, tapi juga bisa menghasilkan hadiah yang sangat berharga, yaitu : kebijaksanaan dan kesabaran. Kesuksesan memang menghasilkan pujian dan penghormatan, tapi juga bisa menghasilkan godaan-godaan kehidupan yang menjerumuskan. Dan di lain waktu kesuksesan juga mengajarkan bahayanya ego, terutama kalau kesuksesan menjadi awal mula iri hati dan dengki orang lain.

Kerja adalah langkah-langkah manusia untuk menyelaraskan irama dengan keseluruhan semesta. Alam semesta bekerja sepanjang masa. Tidak mengenal hari minggu, apalagi hari libur. Kalau alam semesta bekerja penuh tenaga tanpa mengenal jeda, darimana manusia bisa memperoleh tenaga untuk bisa seirama dengan semesta ? Lihatlah burung yang terbang kesana kemari untuk bisa memberi makan anak-anaknya. Harimau lari kesana kemari berburu untuk bisa memberi makan anak-anaknya. Ibu yang menyusui sambil mengelus-ngelus anaknya dengan penuh kasih sayang. Matahari yang menyinari semua tanpa plih kasih dan keluhan. Sungai yang terus mengalir ke laut tanpa mengenal lelah. Ibu pertiwi yang hanya mengenal kata memberi, memberi dan memberi. Lalu apa yang menggerakkan semua itu ? Semuanya digerakkan oleh energi-energi welas asih dan kebaikan.

Laksanakan svadharma dengan dibimbing oleh kesadaran. Sesetia matahari di siang hari, serajin air mengalir di sungai dan pada saat yang sama : sehening pohon bermeditasi. Tanpa nafsu untuk mendapatkan sesuatu atau memiliki, melainkan dibimbing oleh dorongan kuat untuk memberi, memberi dan memberi. Laksana alam semesta yang hanya tahu memberi. Yang tidak pernah cerewet dengan persyaratan apapun. Diperlakukan seperti apapun, ia selalu melaksanakan tugasnya 24 jam sehari tanpa keluhan. Dan puncaknya adalah paramashanti [kedamaian sempurna].

Dalam Karma Yoga, kerja adalah sarana untuk menyelami diri sendiri dan disaat yang bersamaan menyelaraskan irama diri dengan irama-irama semesta.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Purwani Purnama Kadasa, 28 Maret 2010