Minggu, 08 Mei 2011

PILAR SADHANA III : Pikiran yang bebas dari Sad Ripu [enam kegelapan bathin]

KATHA UPANISHAD - BAB I, BAGIAN 3 [Adhyaya I, Valli 3]

[Sloka 1]
ṛtam pibantau sukṛtasya loke guhᾱm praviṣṭau parame parᾱrdhe,
 chᾱyᾱ-tapau brahma-vido vadanti, pañcᾱgnayo ye ca tri-ṇᾱciketᾱḥ.
Seperti cahaya dan bayangan, ada dua kesadaran. Satu disini di bumi tunduk kepada hukum semesta karena keinginannya, yang satu lagi seolah tersembunyi di tempat rahasia yang tidak terbayangkan. Demikianlah kata orang bijak yang mengetahui Brahman, yang memelihara lima api dan tiga api naciketa.

[Sloka 2]
yas setur ījᾱnᾱnᾱm akṣaram brahma yat param, abhayam titīrṣatᾱm pᾱram nᾱciketaṁ śakemahi.
Kita selayaknya mengendalikan api naciketa. Karena ia ibarat jembatan bagi mereka yang melaksanakan jnana yajna, guna mencapai daratan yang lebih jauh, yang tidak terjangkau oleh rasa takut. Jembatan menuju Brahman, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan tidak terbatas.

[Sloka 3]
ᾱtmᾱnaṁ rathinaṁ viddhi, śarīraṁ rathameva tu:
buddhiṁ tu sᾱradhiṁ viddhi, manaḥ pragraham eva ca.
Ketahuilah perumpamaan [kereta kuda] ini. Atman adalah apa yang tersembunyi di baik seluruh fenomena kereta kuda, badan fisik kita adalah kereta kuda, kesadaran adalah kusir kereta kuda dan pikiran adalah tali kekang yang mengendalikan arah kereta kuda tersebut.

[Sloka 4]
indriyᾱṇi hayᾱn ᾱhur viṣayᾱṁs teṣu gocarᾱn,
ᾱtmendriya-mano-yuktam bhoktety ᾱhur manīṣiṇaḥ.
Indriya-indriya adalah kuda-kuda dari kereta, obyek-obyek indriya adalah jalanan yang ditempuh. Apa yang dipersepsikan oleh badan fisik, indriya dan pikiran - orang bijak menyebutnya sebagai “sang aku” yang menikmati.

[Sloka 5]
yas tv avijñᾱnavᾱn bhavaty ayuktena manasᾱ sadᾱ,
tasyendriyᾱṇy avaśyᾱni duṣṭᾱśvᾱ iva sᾱratheḥ.
Mereka yang tidak memahami pengetahuan ini, yang pikirannya tidak dikendalikan secara disiplin, indriya-indriya mereka sulit dikendalikan, seperti kusir kereta kuda yang mengendarai kereta dengan kuda-kuda sangat liar.

[Sloka 6]
yas tu vijñᾱnavᾱn bhavati, yuktena manasᾱ sadᾱ,
tasyendriyᾱṇi vaśyᾱni sadaśvᾱ iva sᾱratheḥ.
Sebaliknya mereka yang menyadari riak-riak pikiran, pikiran mereka terkendali, indriya-indriya mereka terkendali dan sang kusir menjadi pengendali tali kekang dan kuda-kuda yang baik.

[Sloka 7]
yas tv avijñᾱnavᾱn bhavaty amanaskas sadᾱ’śuciḥ
na sa tat padam ᾱpnoti saṁsᾱraṁ cᾱdhigacchati.
Mereka yang tidak memahami pengetahuan ini, yang tidak sadar dan tidak murni, tidak akan merealisasi kesadaran tertinggi, melainkan terus-menerus terjebak dalam roda samsara.

[Sloka 8]
yas tu vijñᾱnavᾱn bhavati samanaskas sadᾱ śuciḥ,
sa tu tat padam ᾱpnoti yasmᾱt bhῡyo na jᾱyate.
Sebaliknya mereka yang menyadari riak-riak pikiran, yang selalu sadar dan murni, mereka merealisasi kesadaran tertinggi dan tidak terlahir kembali.

[Sloka 9]
vijñᾱnasᾱrathir yastu manaḥ pragrahavᾱn naraḥ,
so’dhvanaḥ param ᾱpnoti tad viṣṇoḥ paramam padam.
Mereka yang kusir-nya yang memimpin kereta, yang mengenali dan menyadari riak-riak pikirannya, akan sampai kepada tujuan, pembebasan sempurna.

[Sloka 10]
indriyebhyaḥ parᾱ hy arthᾱ, arthebhyaś ca param manaḥ,
manasaś ca parᾱ buddhir buddher ᾱtmᾱ mahᾱn paraḥ.
Melampaui indriya adalah obyek-obyek indriya.
Melampaui obyek-obyek indria adalah pikiran.
Melampaui pikiran adalah kebijaksanaan.
Melampaui kebijaksanaan adalah kesadaran.

[Sloka 11]
mahataḥ param avyaktam, avyaktᾱt puruṣaḥ paraḥ
puruṣᾱn na paraṁ kiñcit: sᾱ kᾱṣṭhᾱ sᾱ parᾱ gatiḥ.
Melampaui kesadaran adalah yang tidak termanifestasi.
Melampaui yang tidak termanifestasi adalah purusha [Brahman].
Setelah purusha tidak ada lagi.
Itulah tujuan akhir yang tertinggi.

[Sloka 12]
eṣa sarveṣu bhῡteṣu gῡdho’tmᾱ na prakᾱśate,
dṛśyate tvagryayᾱ buddhyᾱ sῡkṣmayᾱ sῡkṣma-darśibhiḥ.
Inilah Brahman yang tersembunyi dibalik segalanya, hanya bisa diketahui oleh para yogi, melalui bathin mereka yang telah sadar.

[Sloka 13]
yacched vᾱṅ manasī prᾱjñas tad yacchej jñᾱna-ᾱtmani,
jñᾱnam ᾱtmani mahati niyacchet, tad yacchec chᾱntav-ᾱtmani.
Orang bijak mengendalikan perkataan dan pikirannya, mengarahkannya menjadi kesadaran diri [atma jnana] dan mengarahkan kesadaran diri menuju realitas absolut. Dalam keheningan yang abadi.

[Sloka 14]
uttiṣṭhata jᾱgrata prᾱpya varᾱn nibodhata:
kṣurasya dhᾱrᾱ niśitᾱ duratyayᾱ; durgam pathas tat kavayo vadanti.
Bangkitlah ! Bangunlah ! Kamu telah meraih anugerahmu. Kenali dan pahami anugerah itu. Tajam seperti mata pisau silet, sulit diseberangi. Raihlah kembali kesejatian diri walaupun jalan ini susah, kata para yogi

[Sloka 15]
śabdam asparśam arῡpam avyayam tathᾱ arasaṁ nityam agandhavac ca yat
anᾱdy anantam mahataḥ paraṁ dhruvaṁ nicᾱyya tam mṛtyu-mukhᾱt pramucyate.
Dengan memahami dan mengenali yang tanpa suara, tidak tersentuh, tidak berbentuk, tidak pernah rusak, tanpa cita rasa, tanpa bau, tidak dipengaruhi waktu, tidak berawal dan tidak berakhir, melampaui segalanya, seimbang sempurna, seseorang terbebaskan dari kematian-kelahiran.

[Sloka 16]
nᾱciketam upᾱkhyᾱnam mṛtyu-proktaṁ sanᾱtanam
uktvᾱ śrutvᾱ ca medhᾱvī brahma-loka mahīyate.
Kisah nachiketa ini adalah ajaran kuno dewa kematian [Dewa Yama]. Dengan mendengar lalu mengajarkan kembali kepada yang lain, seseorang akan meraih keagungan di alam para dewa.

[Sloka 17]
ya imam paramaṁ guhyaṁ śrᾱvayed brahma-saṁsadi
prayataḥ śrᾱddha-kᾱle vᾱ tad ᾱnantyᾱya kalpate, tadᾱnantyᾱya kalpate.
Mereka yang melantunkan mantram rahasia tertinggi ini, dengan para pandita atau sendirian saja dengan penuh bhakti pada upakara kematian seseorang, bisa membantu yang meninggal menuju keabadian yang tidak terbatas.

PENJELASAN

Katha Upanishad kemungkinan ditulis antara tahun 1400 SM s/d tahun 500 SM. Terdiri dari 2 Bab [Adhyaya], yang masing-masing Bab terdiri dari 3 Valli [bagian] dan masing-masing bagian ini terdiri dari 15 s/d 29 sloka. Katha Upanishad berisi kisah tentang anak dari Vajasravasa bernama Nachiketa dan pertemuannya dengan Dewa Yama [dewa kematian], yang kemudian mengajarkannya tentang rahasia tertinggi.

Dalam Bab I Bagian 3, ajaran tentang hakikat sejati sang diri disampaikan dalam bentuk analogi cahaya dan bayangan, serta analogi kereta kuda.

1. Analogi Cahaya dan bayangan.

Keseluruhan alam semesta dalam Brahman terdiri dari dua realitas : Purusha - realitas absolut [kesadaran murni] dan Prakriti - fenomena alam materi. Purusha laksana cahaya dan Prakriti laksana bayangan-Nya.

Purusha adalah kesadaran murni. Mutlak, tidak tergantung, bebas, tidak terasa, tidak kelihatan, diluar semua pengalaman dan diluar semua kata-kata dan penjelasan. Tidak terpikirkan. Kesadaran tanpa sifat yang selalu murni. Purusha tidak berasal dari sesuatu dan tidak menghasilkan / menimbulkan sesuatu.

Prakriti [kata-kata dalam bahasa manusia yang paling mendekati adalah energi. Jadi Prakriti bisa disebut sebagai "shakti" atau divine energy [energi ilahi]. Prakriti adalah penyebab awal dari seluruh fenomena alam materi, seluruh dimensi alam semesta -dan segalanya-, kecuali purusha, yang tidak memiliki penyebab maupun menjadi sebab. Prakriti menjadi sumber asal dari apapun yang bersifat material [fisik] dan energi.

Hal ini juga dibabarkan dalam Rig Veda, pada sloka : “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [Rig Veda 2.72.4] - dari aditi [materi] asalnya daksa [energi] dan dari daksa [energi] asalnya aditi [materi] - Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.

Purusha dan Prakriti ada bersama-sama [sebagai satu kesatuan] dalam Brahman dan sifatnya abadi. Setiap kejadian material [fisik] dan energi adalah perwujudan dari dinamika Prakriti [fenomena alam materi], termasuk yang terjadi pada setiap lapisan tubuh [kosha] kita -lapisan badan dan lapisan pikiran-. Sedangkan eksistensi setiap mahluk hidup sejatinya adalah Purusha [kesadaran murni] yang tidak terbatas, tidak terpikirkan dan tidak terpengaruh oleh tubuh. Eksistensi mahluk hidup atau "sang aku" mengalami pembebasan [moksha] ketika "sadar" akan perbedaan Purusha dan Prakriti.

2. Analogi Kereta Kuda.

Atman / Brahman adalah apa yang seolah tersembunyi di baik seluruh fenomena kereta kuda. Kesadaran ibarat kusir kereta kuda yang memimpin. Pikiran ibarat tali kekang yang mengendalikan kereta kuda tersebut. Indriya-indriya ibarat kuda-kuda dari kereta. Obyek-obyek indriya ibarat jalanan yang ditempuh.



Ketika indriya-indriya [kuda-kuda] yang mengendalikan kereta [pemuasan badan], keretanya akan salah jalan dan bisa masuk jurang. Ketika tali kekang [pikiran] yang mengendalikan kereta, keretanya juga bisa salah jalan dan masuk jurang. Terutama karena banyak manusia dan mahluk yang salah pikiran. Dan salah pikiran yang akan membuat kita masuk jurang adalah : keangkuhan, kemarahan, kebencian, sikap permusuhan, serakah, sakit hati, mementingkan diri sendiri, iri hati, tidak pernah puas, selalu membandingkan dengan yang lebih tinggi, tidak pernah bersyukur, dll. Jangankan urusan uang atau kursi kekuasaan, urusan agama-pun juga ada orang yang bertengkar dan bermusuhan. Itu karena salah pikiran.

Tali kekang dan kuda-kuda ini sangat liar. Ketika kita belajar mengendalikannya, diri ini seolah melawan dan memberontak.

- Ketika biasa mengumbar nafsu, ada perlawanan ketika mulai belajar mengendalikannya.
- Ketika biasa marah-marah, ada perlawanan ketika mulai belajar sabar.
- Ketika biasa membenci, ada perlawanan ketika mulai belajar menyayangi.
- Ketika biasa makan yang enak-enak, ada perlawanan ketika mulai menjaga jarak dengan makanan.
- Ketika mulai belajar meditasi, diri ini selalu mengeluh : capek, pegal, kaki sakit dan tidak konsen.
- Ketika biasa serakah dan memikirkan diri sendiri, ada perlawanan diri ketika mulai belajar berbagi kebaikan.

Inilah tanda-tanda bagaimana tali kekang dan kuda-kuda ini menolak untuk dikendalikan. Dan merupakan tahap terberat dan tersulit. Jangankan orang yang baru mulai, orang yang sudah dianggap "suci"-pun bisa jatuh kembali ke tingkat dasar ini.

Hanya ketika kusir [kesadaran] yang memimpin kereta [selalu sadar dan menyadari riak-riak pikiran dan nafsu indriya], kita bisa sampai di tempat tujuan dan terbebaskan.

MENCARI KESELAMATAN DI JAMAN GELAP [JAMAN KALI]

Hidup di jaman sekarang, godaan diluar banyak sekali. Mulai dari godaan narkoba, godaan seks, godaan perselingkuhan, godaan uang [korupsi, penipuan, pencurian, dll], godaan kekuasaan dan banyak lagi lainnya. Orang-orang yang bathinnya penuh lumpur kegelapan bathin, hidupnya akan kepanasan. Ada yang mengeluh mengenai kekurangan uang, ada yang mengeluh mengenai istri yang tidak memuaskan, ada yang mengeluh mengenai pemerintah, ada yang mengeluh mengenai tetangga, dll, macam-macam keluhannya.


Di jaman dimana keadaan hidup serba panas, itulah tanda-tanda awal dari jaman penuh kegelapan. Kita janganlah sampai ikut larut oleh kegelapan jaman. Dan cara agar kita selamat dan tidak larut oleh arus gelapnya jaman yang berbahaya adalah : hati-hati dan waspadalah dengan sad ripu [enam kegelapan bathin]. Biarkan kesadaran yang memimpin, sehingga kita bisa selamat sampai di tempat tujuan yang sejati, di dalam mengarungi kehidupan ini.

ATMA JNANA [KESADARAN ATMAN]

Sad Ripu [enam kegelapan bathin] bukanlah realitas diri kita yang sejati. Sad Ripu bagaikan awan-awan gelap yang menutupi realitas diri kita yang sejati. Seluruh Sad Ripu berakar dari ahamkara [ke-aku-an] dan vasana [kecenderungan pikiran]. Ketika Sad Ripu sepenuhnya lenyap dari bathin kita, itulah yang dalam vedanta disebut sebagai jivan-mukti dan disanalah akan terbuka rahasia tentang realitas diri kita yang sejati [siapakah sebenarnya diri kita ini].

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
8 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar