Rabu, 22 Juni 2011

Menyambut kematian secara terang dan indah



PENDAHULUAN

Kalau berbicara kematian, biasanya reaksi kita macam-macam, tapi yang paling banyak adalah reaksi takut atau ngeri. Padahal kematian itu sesuatu yang pasti. Siapapun kita : selebritis atau petani miskin, presiden atau pegawai rendahan, konglomerat atau pengemis, orang suci atau penjahat, dll, kita semua pasti mati. Tidak ada doa, mantram, yajna, yoga atau apapun juga yang bisa menghentikan kematian. Jangankan orang biasa seperti kita, para yogi, maha-siddha, jivan-mukta atau maharsi-pun tidak bisa menghentikan kematian.

Kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Bisa 7 jam lagi, 7 hari lagi, 7 bulan lagi, 7 tahun lagi, 70 tahun lagi ? Kita tidak tahu. Walaupun demikian, kematian jangan dilihat sebagai ancaman menakutkan, tapi sebagai kesempatan yang sangat baik untuk memasuki wilayah kehidupan baru yang terang dan indah. Kematian datang bukan karena sakit, kematian datang bukan karena kesengajaan [dibunuh] orang lain, kematian datang bukan karena kecelakaan, dll, tapi kematian datang semata-mata karena WAKTUNYA SUDAH TIBA.

Karena kematian tidak bisa dihentikan oleh apapun, kita hanya punya satu pilihan : mempersiapkan kematian sejak jauh-jauh hari. Sebelum kita "pergi pulang ke tanah wayah" secara kacau, lebih baik kita siapkan sejak sekarang. Anda dan saya beruntung, karena sebelum "pergi pulang ke tanah wayah", sudah dapat ilmunya, sudah dapat rahasianya.

RAHASIA ALAM KEMATIAN

Faktor kunci di alam kematian adalah : kecenderungan bathin kita sendiri [vasana]. Alam kematian adalah lapisan-lapisan alam yang mayoritas dibentuk oleh mental. Kecenderungan bathin yang negatif akan membawa kita menuju wilayah-wilayah yang juga negatif, kecenderungan bathin yang positif akan membawa kita menuju wilayah-wilayah yang juga positif dan bathin yang sudah terbebaskan [jivan-mukti] akan membawa kita menuju moksha [pembebasan sempurna]. Mengapa demikian ? Karena tubuh dan lingkungan kita di alam kematian dibentuk oleh bahan-bahan divine energy yang sama dengan yang membentuk pikiran kita. Sehingga kita kemudian akan tinggal di salah satu lapisan-lapisan alam halus yang paling sesuai dengan kualitas dan kecenderungan pikiran kita sendiri.

Dan faktor paling menentukan dalam menyambut kematian adalah : bagaimana keadaan bathin kita di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir, itu yang akan sangat menentukan kita akan pergi kemana. Mereka yang takut, ragu, bingung, melawan, penuh keterikatan duniawi, apalagi dalam sifat kejam [tanpa welas asih], dalam kemarahan-kebencian, sangat mungkin nantinya pada prosesnya akan memasuki lapisan alam semesta bawah [bhur loka]. Menjadi bhuta kala, ashura, preta, setan, dll. Sebaliknya, kalau di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan berakhir, kita mengalami paramashanti [kedamaian sempurna], sangat mungkin setelah kematian kita langsung bergerak setidaknya sampai di lapisan alam semesta atas [svah loka] – boleh menyebutnya alam surga-. Lebih baik lagi kita bisa jadi dewa di tingkatan luhur [kesadaran kosmik]. Dan yang terbaik [kalau memungkinkan] kita bisa amor ring acintya, menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan” [moksha].

Karena itu sangat penting diinformasikan kepada orang-orang yang akan meninggal, di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan akan berakhir, sangat penting mengalami menit-menit dan detik-detik terakhir yang shanti [damai].

MEMPERSIAPKAN KEMATIAN SEJAK JAUH-JAUH HARI

Secara garis besar ada tiga jenis manusia di depan kematian :

1. Manusia yang semasa hidup banyak karma buruk-nya [ke-aku-annya besar dan berat].-
Kalau kita banyak melakukan banyak karma buruk dalam hidup, realisasi shanti [damai] kita saat menjelang kematian sangat mungkin akan sangat berat. 


Karena ketika kita mati, semua rekaman atau memory dari seluruh kehidupan kita [yang tersimpan di karana sarira] muncul dan jebol semua, karena tidak ada lagi badan fisik yang menjadi penghalang [membuat kita lupa]. Akibatnya kita akan dikejar-kejar oleh bayangan karma buruk kita sendiri. Inilah yang akan banyak menghambat perjalanan-perjalanan kita berikutnya di alam kematian.

2. Manusia yang semasa hidup banyak karma baik-nya [penuh welas asih dan kebaikan].-
Kalau kita banyak melakukan banyak karma baik dalam hidup, akan sangat membantu realisasi shanti [damai] kita saat menjelang kematian. Karena ketika kita mati, semua rekaman atau memory dari seluruh kehidupan kita [yang tersimpan di karana sarira] muncul dan jebol semua, karena tidak ada lagi badan fisik yang menjadi penghalang [membuat kita lupa].


Welas asih dan kebaikan itu sangat membebaskan bathin. Begitu pula akan banyak membantu perjalanan-perjalanan kita berikutnya di alam kematian.

3. Manusia yang "sadar" [seorang jivan-mukta].-
Ini terlepas dari seberapa banyak karma baik-buruk kita sendiri dalam hidup. Seandainya di saat akhir menjelang kehidupan, kita adalah seorang jivan-mukta, orang yang sudah sadar dan sudah terbebaskan, bathinnya damai sempurna, kita akan terbebaskan dari roda samsara.

Itulah sebabnya bagi para yogi dan bhakta, salah satu tugas pokoknya adalah melenyapkan sad ripu [enam kegelapan bathin] dan menumbuhkan sifat penuh welas asih dan kebaikan.  Apa gunanya ? Gunanya agar ketika kematian itu benar-benar datang, kita sudah siap dan bisa mengalaminya dalam keadaan yang sangat shanti [damai].

Sehingga semakin kita menua, semakin dekat dengan kematian, seyogyanya seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] semakin berkurang. Celakanya banyak diantara kita semakin tua semakin banyak minum pil kuat [nafsu seks tetap besar]. Semakin tua semakin besar keterikatannya kepada deposito, rumah mewah dan mobil mewah. Semakin tua semakin besar marah-marahnya. Dan itu adalah satu bentuk hidup yang celaka.

Pentingnya meniadakan Sad Ripu dalam perjalanan kehidupan

Salah satu faktor yang musti kita upayakan dengan tekun agar bukan saja hidup kita menjadi damai, terang dan indah, tapi juga sekaligus agar kita bisa mati secara damai, terang dan indah, adalah meniadakan sad ripu [enam kegelapan bathin] dari dalam diri.

Misalnya : menuruti iri hati dan dengki [matsarya]. Ini tidak ada faedahnya sama sekali, selain hanya menyeret bathin kita ke dalam kegelapan yang pekat. Tidak terbayang bagaimana gelapnya kematian yang disambut dengan kerak-kerak iri hati yang pekat di dalam bathin kita sendiri. Dapat dipastikan setelah mati tempat kita adalah pada lapisan alam semesta dunia bawah [bhur loka]. Menjadi bhuta kala, ashura, preta, setan, dll. Sehingga kalau ingin kematian yang terang dan indah, kita sama sekali tidak punya pilihan lain selain meniadakan rasa iri hati dalam bathin kita.

Contoh lain : menuruti kemarahan [kroda]. Ini memang bisa membuat kita merasa puas atau plong. TAPI HANYA SEMENTARA. Karena tanpa kita sepenuhnya sadari, segenap perhatian dan konsentrasi bathin kita telah larut pada kebencian. Tanpa kita sadari, kerak-kerak kemarahan dan kebencian menjadi semakin pekat dan permanen di dalam bathin kita. Kematian yang disambut dengan kerak-kerak kemarahan dan kebencian yang pekat di dalam bathin kita sendiri, hampir dapat dipastikan setelah mati tempat kita adalah pada lapisan alam semesta dunia bawah [bhur loka]. Menjadi bhuta kala, ashura, preta, setan, dll. Sehingga kalau ingin kematian yang terang dan indah, kita tidak punya pilihan lain selain melatih dan menumbuhkan KESABARAN, karena hanya dengan cara demikian kerak-kerak kemarahan dan kebencian di dalam bathin kita sendiri perlahan-lahan bisa lenyap.

Contoh lainnya : Menuruti keserakahan [lobha] dan hawa nafsu / keinginan [kama]. Ini memang bisa membuat kita merasa puas. TAPI SIFATNYA SANGAT GOYAH, HANYA SEMENTARA. Karena tanpa kita sadari, segenap perhatian dan konsentrasi bathin kita telah larut pada keterikatan. Kerak-kerak keterikatan menjadi semakin pekat dan permanen di dalam bathin kita. Kematian yang disambut dengan keterikatan yang pekat di dalam bathin kita sendiri, akan menyiksa bathin kita di alam kematian. Dan dapat dipastikan kelak kita akan balik lagi [lahir kembali] ke dunia ini. Sehingga kalau ingin kematian yang terang dan indah, kita tidak punya pilihan lain selain belajar MELEPAS dan KERELAAN, serta menumbuhkan WELAS ASIH dan KEBAIKAN dalam bathin kita, karena hanya dengan cara demikian kerak-kerak keterikatan di dalam bathin kita sendiri perlahan-lahan bisa lenyap. Jangankan deposito, mobil mewah, rumah megah, dll, bahkan tubuh kita ini-pun musti kita relakan dengan senyuman damai.

Demikian juga dengan bathin yang tunduk kepada mada [mabuk, sombong, angkuh] dan moha [bingung, mumet, putus asa].

MENYAMBUT MOMENT MENJELANG KEMATIAN SECARA TERANG DAN BENAR

Bayangkan kita terbaring lemah di tempat tidur dan sebentar lagi kita akan mati. Apa yang harus kita lakukan ? Kuncinya dua, yaitu : Upeksha [keseimbangan bathin yang sempurna] dan Vaigraya [bebas dari keterikatan pada apapun dalam kehidupan].

Apapun yang terjadi di moment ini, rasa apapun yang muncul pada badan dan pikiran kita, sambut dengan penuh kasih sayang. Mengalir dan menjadi jadi satu dengan pengalaman ini dalam senyum damai. Dengan demikian kita membiarkan kesadaran bathin kita tetap seimbang dan damai menuju ke tahap berikutnya. Kalau dalam moment ini kita mengadakan "perlawanan", kematian akan menjadi proses yang sangat menyakitkan, mungkin rasanya seperti kita gila. Badan fisik, pikiran dan perasaan kita berkecamuk liar.

Dan pada moment ini, apapun yang terjadi semasa hidup kita, penting bagi kita untuk melepaskan semua keterikatan-keterikatan kita dalam kehidupan. Ketidakrelaan untuk berpisah dan mati [keterikatan-keterikatan] dan perlawanan akan membuat kematian menjadi peristiwa buruk, mengerikan dan menyakitkan. 

Kalau semasa hidup kita tidak terlatih dengan kedua hal ini, kita bisa mengalihkan pikiran kita dengan fokus terhadap hal tertentu yang terang, misalnya berjapa-mantram dalam hati atau meditasi. Dan semuanya jangan dilakukan dengan tegang, apalagi melawan. Tapi lakukan dengan penuh kedamaian dan kepasrahan.

Yang celaka adalah kalau di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir, yang kita pikirkan adalah selingkuh. Yang kita pikirkan adalah deposito, sertifikat tanah, rumah megah dan mobil mewah. Yang kita pikirkan adalah rasa marah kita pada si A dan si B. Dll. Kalau ini yang terjadi, mati kita mau pergi kemana ? Hiduplah secara terang dan matilah juga secara terang.

PROSES KEMATIAN

Pada saat-saat menjelang kematian, pranamaya kosha [lapisan badan prana atau kekuatan hidup], bergerak mengalir dari ujung-ujung tangan dan ujung-ujung kaki dan berkumpul di jantung. Lalu dari jantung prana bergerak menuju ubun-ubun. Tepat saat prana mencapai ubun-ubun, kita berpindah [meninggalkan] sthula sarira [badan fisik] ke linga sarira [badan sangat halus]. Linga sarira kita ini melayang di atas sthula sarira [badan fisik] kita.

Tapi pada saat itu, antara sthula sarira dan linga sarira masih terhubung melalui tali sutratman [tali energi berwarna keperakan] dari kepala sthula sarira ke kepala linga sarira. Selama tali sutratman ini tidak putus, maka selama itu pula orang yang walaupun nafasnya sudah tidak ada, jantungnya sudah berhenti berdetak, atau secara medis dinyatakan sudah mati, dia dapat hidup kembali. Pada detik terputusnya tali sutratman inilah kita mati dan tidak mungkin lagi untuk hidup kembali. Bersamaan dengan putusnya tali sutratman tadi, prana di ubun-ubun juga buyar, kembali kepada samudera besar energi prana [kehidupan] yang universal.

Kadang ada "keajaiban" dimana orang yang sudah mati bisa hidup kembali. Kata "keajaiban" digunakan mungkin karena ketidakpahaman tentang hukum yang bekerja di balik layar. Sebenarnya selama tali sutratman ini tidak putus, selama itu pula sesorang dapat kembali ke badan fisik [hidup lagi]. Mungkin orang itu akan bercerita tentang pengalaman melihat CAHAYA TERANG [Jyoti], bertemu kerabat atau kenalan yang sudah lebih dahulu mati, dll.

BEBERAPA SAAT SETELAH KEMATIAN

Beberapa saat setelah kematian ada beberapa fase kosmik yang kita lalui, yang terpenting adalah ketika muncul “CAHAYA TERANG" [Jyoti], yang merupakan gerbang menuju moksha [pembebasan] atau minimal menuju alam-alam luhur. Akan tetapi durasi kemunculan cahaya ini sangat bervariasi bagi setiap orang. Tergantung kepada vasana [kecenderungan pikiran kita] kita sendiri di moment-moment menjelang kematian.

Bagi yang semasa hidup banyak karma buruk-nya [ke-aku-annya besar dan berat], apalagi berisi iri hati, marah-marah, benci, pikirannya sangat dual [salah-benar, suci-kotor], penuh keterikatan kepada benda-benda duniawi, dll. Sehingga di moment kematian pikirannya cenderung buruk, cahaya terang ini muncul hanya mulai dari SETENGAH DETIK s/d 30 menit saja. Bagi yang semasa hidup banyak karma baik-nya [ke-aku-annya kecil], misalnya sering melakukan : kebaikan tulus, kesabaran tulus, keikhlasan tulus, dll. Sehingga di moment kematian pikirannya cenderung tenang, cahaya terang ini bisa muncul selama sekitar 30 menit s/d beberapa jam. Tergantung diri kita sendiri. Bagi seorang jivan-mukta, seorang yang semasa hidup ke-aku-annya sudah lenyap, SANGAT MEMUNGKINKAN DIA AKAN SEGERA MENGALAMI PEMBEBASAN [Moksha].

Kalau kita gagal memahami dan menyatu dengan cahaya terang tadi pada fase ini, kita akan mengalami beberapa fase sebelum kemudian kembali pada linga sarira [tubuh halus] kita.

EMPAT JALUR KEMATIAN

Bila kita melihat cara-cara mati sesuai putaran karma kita masing-masing, mungkin akan terlihat berbeda-beda. Ada yang mati sakit, ada yang mati dalam tidur, ada yang mati ditabrak mobil, ada yang mati dibunuh orang, dll. Semuanya terlihat berbeda, akan tetapi sesungguhnya kita akan pergi kemana setelah mati, intisari-nya sama saja yaitu : kecenderungan bathin kita sendiri [vasana].

Secara garis besar ada empat jalur kematian :

1. Orang mati yang belum sadar kalau dirinya sudah mati.

Hal yang sering terjadi [tapi tidak semua] adalah : KITA BELUM MENYADARI KALAU KITA SUDAH MATI. Khususnya kalau kita mengalami kematian secara sangat tiba-tiba dan tidak punya waktu untuk bersiap-siap menyongsong kematian, seperti misalnya : tertabrak mobil, terkena ledakan bom, mati di meja operasi, dll, atau mungkin juga kalau kita memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia ini.

Melanjutkan fase yang dijelaskan sebelumnya diatas, kita umumnya akan dibuat bingung karena tidak seorangpun menghiraukan kita [karena kita tidak lagi memiliki sthula sarira -badan fisik-, sehingga kita tidak terlihat]. Kita mencoba bicara dengan orang-orang, tapi tidak ada yang merespon. Kita tidak bisa membuka pintu untuk ke ruangan lain, tetapi dimana yang kita pikirkan seketika disana kita berada. Moment ini bagi yang tidak mengerti bahwa dirinya sudah mati akan membingungkan. Tapi karena dia belum sadar bahwa dirinya sudah mati, dia tetap akan beraktifitas seperti biasa, walaupun dengan keadaan ”aneh” tersebut.

Akan tetapi kemudian akan ada saatnya kemudian kita sadar dan mengerti bahwa kita sudah mati. Caranya macam-macam [bisa apa saja], mungkin ada seorang wikan yang melihat kita dan berbaik hati memberitahu kita, mungkin keluarga kita kebetulan menggunakan jasa balian sehingga bisa memberitahu kita, mungkin kita tahu sendiri, dll. Tapi setelah itu kemudian kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kembali ke badan fisik [hidup lagi] sudah tentu tidak mungkin.

2. Orang mati yang sadar kalau dirinya sudah mati, tapi belum beranjak dari alam materi ini.

Ini keadaan dimana kita sudah tahu kalau kita sudah mati, tapi kita masih bergentayangan di bvah loka dengan linga sarira [badan halus] kita, atau menjadi ”hantu” [tanda kutip]. Kita tentu berada dalam keadaan kebingungan [tidak tau apa yang harus dilakukan]. Mungkin saja kita kemudian merasa shock dan ketakutan. Padahal rasa takut adalah salah satu hal yang harus sangat dihindari dalam kematian.

Disini kita perlu tahu bahwa fase setelah fase ini adalah fase sushupti [tidur lelap tanpa mimpi]. Kemudian setelah fase sushupti ini, nantinya kita akan pindah menuju lapisan badan suksma sarira, lalu terbangun dari fase sushupti dan melakukan “perjalanan” singkat di berbagai lapisan-lapisan alam, untuk kemudian tiba dan tinggal di salah satu lapisan alam yang paling sesuai dengan vasana [kecenderungan bathin kita sendiri] dan karma kita sendiri.

Secara umum fase sushupti ini berlangsung selama sampai sthula sarira [badan fisik] kita sudah terurai kembali menjadi unsur-unsur alam [panca maha butha] secara sempurna. Itulah sebabnya mengapa di dalam tradisi Hindu dan agama dharma lainnya dilakukan kremasi [pembakaran mayat], dimana hal ini sangat membantu bagi yang meninggal. Sebabnya hukum alam yang berlaku adalah : penyebab terurainya [memudar] linga sarira sangat dipengaruhi oleh terurainya sthula sarira [keduanya berkaitan]. Bila sthula sarira sudah terurai, secara otomatis linga sarira juga terurai, sehingga kita bisa secepatnya memasuki fase sushupti [tidur lelap tanpa mimpi], tanpa perlu lama-lama bergentayangan menjadi hantu.

Akan tetapi ada kejadian-kejadian dimana proses melepaskan lapisan badan linga sarira terganggu, sehingga kita menetap dalam lapisan badan linga sarira dalam waktu yang sangat lama. Dalam artian kita tetap hidup dalam lingkungan dunia fisik tapi dengan lapisan badan linga sarira [baca : menjadi hantu gentayangan]. Secara umum hal ini terjadi kepada orang yang memiliki keterikatan yang sangat kuat terhadap kehidupan duniawi. Ia tidak mampu merelakan berpisah dengan kehidupan duniawi. Sehingga walaupun sudah mati, dia masih berharap dan punya keinginan kuat untuk bisa hidup bergelimang dengan benda-benda fisik, orang yang disayangi atau bentuk-bentuk keduniawian lainnya. Tapi karena ia kini hidup dengan linga sarira [badan halus], maka dunia fisik ini, benda-bendanya dan penghuninya semakin lama akan menjadi semakin kabur dan samar-samar. Hal ini sebenarnya cenderung kepada halayan dan keinginan pikiran belaka. Tapi hal ini tidak berlangsung selamanya. Ketika sthula sarira [badan fisik] sudah kembali terurai menjadi unsur-unsur alam [panca maha butha] secara sempurna, maka fase sushupti ini bisa dimasuki dengan sendirinya. Akan tetapi proses seperti ini kalau bisa sangat tidak disarankan.

Nah, di fase yang “mengambang” ini [menjadi “hantu”], yang wajar adalah dalam diri kita muncul usaha untuk bisa melanjutkan perjalan ke alam berikutnya. Yang baik dan bisa kita lakukan di fase ini adalah melantunkan mantram-mantram suci dalam bathin kita, misalnya Gayatri Maha Mantram, Maha Mrityunjaya Mantra, dll. Dengan pikiran fokus kepada Brahman, dewa-dewi yang sering kita puja atau para satguru suci. Atau melakukan meditasi, menjadi pengamat penuh kasih sayang kepada riak-riak pikiran kita sendiri. Apapun yang muncul dalam pikiran kita, amati dengan penuh kasih sayang. Begitu yang datang pikiran dan hal yang menyenangkan, amati dengan penuh kasih sayang. Begitu yang datang pikiran dan hal yang menjengkelkan juga amati dengan penuh kasih sayang dengan jarak yang sama. Melihatlah dan jangan terlibat.

Serta menyerahlah secara total dan ikhlas untuk meninggalkan dunia fisik, sehingga keterikatan kita terhadap kehidupan dunia fisik mulai melemah. Larut dalam keadaan bathin yang damai, sehingga kita bisa memasuki fase sushupti ini. Orang biasa yang biasa melihat dunia secara biasa, akan tetap melihat semuanya seperti biasa. Akan tetapi orang yang semasa hidup sudah terlatih di jalan-jalan yoga atau jalan bhakti, dan terutama sekali pikirannya memang bersih, akan mulai bisa melihat semuanya semakin indah dan murni, sebelum kemudian kita memasuki tahap sushupti [tidur lelap tanpa mimpi] secara damai.

Note : Sangat disarankan kalau kita ada kerabat yang meninggal untuk tidak menangisinya, apalagi diisi dengan ribut berebut warisan. Sebab hal-hal seperti ini akan menimbulkan getaran emosi yang mengganggu perjalanan kerabat kita yang meninggal tersebut [mengikat dia kepada dunia ini secara emosional]. Yang baik adalah mengantar kepergiannya dengan sejuk, damai dan ikhlas. Lebih baik lagi kalau ditambah kita mengantar-nya dengan mantram-mantram kedamaian atau kidung-kidung surgawi. Sehingga kerabat kita yang meninggal itu bisa mengarahkan pandangan dan melanjutkan perjalanan ke alam-alam berikutnya dalam damai.

3. Orang mati yang disambut atau diangkat oleh kekuatan-kekuatan lain.

Ada kemungkinan lain, yaitu pada saat-saat kematian kita dapat langsung terangkat ke alam-alam luhur. Sebab pertama karena ada keluarga, kerabat atau sahabat yang sudah terlebih dahulu memasuki lapisan alam-alam atas datang menolong. Sebabnya satu : karena hidup kita penuh welas asih dan kebaikan. Misalnya : semasa kita hidup kita sangat taat dan bhakti kepada satguru [guru yang asli] dan karena itu satguru akan hadir untuk membimbing kita menuju lapisan alam-alam berikutnya. Atau orang [keluarga, teman, dll] yang semasa kita hidup kita sayangi dengan sepenuh hati. Atau mungkin juga bila tidak ada keluarga, kerabat atau sahabat yang datang, maka kita akan disambut oleh seorang "penolong gaib" yang memiliki aspirasi untuk menyambut “pendatang baru”. Mereka ini datang untuk menunjukkan jalan menuju "CAHAYA TERANG" [Jyoti] atau mungkin juga menyambut dan menjelaskan perubahan yang terjadi dan membantu pendatang baru menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Kuncinya disini adalah hidup yang penuh welas asih dan kebaikan tanpa syarat dan tanpa mengharapkan imbalan kepada semua mahluk, sehingga walaupun bathin kita belum bersih sempurna, ketika kita mati ada yang menolong.

Yang lebih terang adalah sebab kedua, karena semasa hidup bathin kita cukup bersih, penuh welas asih dan kebaikan. Dan di moment-moment menjelang kematian bathin kita shanti [damai]. Ketika mati kita akan disambut oleh para kesadaran kosmik dari alam-alam luhur.

4. Orang mati yang mengalami moksha [pembebasan sempurna].

Ini seorang Jivan-Mukta yang bathinnya sudah kembali sempurna, yaitu : nirahamkarah [lenyapnya ke-aku-an]. Dalam istilah lain disebut sebagai paramashanti [kedamaian sempurna]. Bagaimanapun cara seorang Jivan-Mukta mati, setelah mati dia akan langsung mengalami moksha, lebur menyatu dengan maha kesadaran universal, yang tidak terpikirkan.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Purwani Purnama Kapat
22 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar