Minggu, 26 Juni 2011

Pohon Raja Yoga

Dalam buku-buku vedanta, Raja Yoga berarti jalan-jalan meditatif. Dalam bahasa simbolik, disebutkan pohon adalah roh seorang yogi [pertapa]. Sebagai mana yang kita tahu, umumnya pohon selalu tumbuh bergerak mencari cahaya matahari. Begitu pula dengan penekun Raja Yoga, suatu hari seorang penekun Raja Yoga akan menemukan cahaya-Nya. Pohon sebenarnya maupun pohon Raja Yoga, tumbuh dengan indah mulai dari lahan sampai kemudian puncaknya menghasilkan buah. Dan itulah yang akan kita bahas, yaitu : pohon sebagai simbolik perjalanan meditatif.


1. LAHAN POHON Raja Yoga [bagaimana kita mengisi keseharian kita sendiri sehari-hari].

Raja Yoga yang manapun, tidak akan pernah terealisasi sempurna tanpa mempraktekkan Tri Kaya Parisudha [pikiran bersih, perkataan bersih dan perbuatan bersih], Dayadhvam [welas asih] dan Datta [kebaikan] dalam kehidupan kita sehari-hari.

Menjadi baik jauh lebih penting daripada menjadi benar, karena begitu kita serius melakukan kebaikan, kebaikan inilah yang akan membimbing kita menuju kebenaran. Teroris berani membunuh banyak orang karena merasa dirinya benar. Amerika berani menyerang Afganistan dan Irak karena merasa dirinya benar. Hal itu menunjukkan kebenaran sangat sangat berbahaya kalau tidak dibimbing oleh kebaikan. Sebaliknya kebenaran menjadi indah dan bercahaya kalau dia dibimbing oleh kebaikan.

Isilah keseharian kita dengan kebaikan dan welas asih, disertai dengan pikiran bersih, perkataan bersih dan perbuatan bersih. Sebab inilah salah satu rahasia jalan spiritual. Perbaiki diri kita di sektor ini dan kemanapun kita melangkah akan mudah bergetar secara spiritual dan mudah terhubung dengan wilayah-wilayah kemahasucian.

2. AKAR POHON Raja Yoga [pikiran yang terbebas dari dualitas].

Sebab utama kenapa banyak orang yang tidak bisa bertumbuh secara spiritual di jalan-jalan meditatif, karena akarnya tidak kuat. Akar dari jalan-jalan meditatif dalam bahasa Jawa Kuno disebut rwa bhinneda, pikiran yang berhenti melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan berbahaya. Ciri orang yang masih dalam dualitas [yang akar meditasinya kurang bagus], misalnya :

- Istri cantik kita puji-puji dan cintai setinggi langit, begitu cerewet dan ngomel ingin kita ceraikan.
- Ketika suami membuka dompet memberi uang, kita tersenyum, tatkala uang di dompet suami habis, kita marah-marah.
- Ketika naik pangkat, atasan kita puji-puji. Ketika tidak naik pangkat, kita mulai mencari-cari kekurangan atasan kita.
- Wanita kalau kita sebut dandannya cantik, dalam sehari bisa ngaca 77 kali. Kalau kita sebut dandannya hancur, dia tidak bisa tidur semalaman.
- Saat bisnis lancar, kita rajin sembahyang berterimakasih pada Tuhan. Tapi saat bisnis kacau balau, kita mulai mempertanyakan Tuhan.
- Orang yang baik kepada kita, kita sebut suci. Orang jahat kepada kita, kita sebut setan.

Sumber dualitas dalam bathin kita ini adalah serakah [lobha]. Hanya mau yang baik dan tidak mau yang buruk. Persepsi dualitas ini kita musti latih menjadi persepsi non-dualitas. Dalam yang baik dan buruk, ada Hyang Widhi didalamnya. Dalam yang benar dan salah, ada Hyang Widhi didalamnya. Dalam yang suci maupun yang gelap, ada Hyang Widhi di dalamnya. Dalam yang terhormat maupun yang hina, ada Hyang Widhi didalamnya.

Begitu pula dengan meditasi. Apapun yang muncul di dalam meditasi, semuanya ada Hyang Widhi di dalamnya. Tatkala kita bisa memahami dalam semua hal ada Hyang Widhi, kita mulai memiliki akar-akar Raja Yoga yang bagus dan kuat. Yaitu ketika bathin kita bisa memasuki wilayah-wilayah Rwa Bhinneda [dalam vedanta / bahasa sansekerta : dvandas atau advaita -non dualitas-]. Pikiran yang tenang-seimbang [upeksha]. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita sama tatkala menghadapi segala macam dualitas keadaan.

3. BATANG POHON Raja Yoga [tehnik meditatif yang paling tepat bagi diri kita sendiri].

Agak berbeda dengan sebagian guru meditasi yang punya kecenderungan mengatakan tehnik meditasinya yang paling bagus atau paling benar, pohon Raja Yoga mengajarkan hal yang berbeda : cobalah sebanyak mungkin tehnik-tehnik meditatif. Rasakan di dalam bathin kita sendiri, tehnik yang mana yang paling membimbing kita menjadi sejuk dan damai. Kalau sudah ketemu, gunakan tehnik itu.

Mengapa begitu ? Karena dalam perputaran samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang], setiap orang tingkat evolusi pertumbuhan spiritualnya berbeda. Ibarat sekolah : ada yang terakhir meninggal masih di tahap SD, sehingga reinkarnasi kembali dia musti melanjutkan SMP. Ada yang terakhir meninggal masih di tahap SMP, sehingga reinkarnasi kembali dia musti melanjutkan SMA. Menggunakan tehnik meditasi yang terlalu di belakang, hambar, tidak terasa. Sebaliknya, menggunakan tehnik meditasi yang terlalu maju, juga hambar, tidak terasa. Kalau meditasi kita hambar, tidak terasa, ada dua kemungkinan : mungkin tehnik itu terlalu maju atau tehnik itu terlalu di belakang dibandingkan dengan tingkat evolusi pertumbuhan jiwa kita.

Untuk itu minta maaf kepada banyak guru meditasi yang menyimpulkan bahwa tehnik dia pasti paling baik dan pasti berlaku untuk semua orang. [Catatan : tanpa mengatakan berbeda pendapat itu salah maupun benar].

Selain itu, ketika kita belajar banyak tehnik, kita akan mendapatkan gambaran secara lebih luas tentang ranah hutan rimba meditasi. Sehingga ketika kita melangkah maju, kita bisa menghormati orang lain secara baik. Kita bisa cukup dewasa untuk bertumbuh di tempat kita masing-masing.

4. DAUN POHON Raja Yoga [ketika meditasi sudah menyatu dengan keseharian kita].

Daun pohon Raja Yoga kita temukan, ketika kita merasakan meditasi sudah menjadi satu dengan keseharian kita. Terasa ada yang kurang kalau kita tidak meditasi. Mungkin bisa disamakan dengan aktifitas mandi sehari-hari. Kalau dalam sehari kita tidak mandi, rasanya kok ada yang kurang. Kalau kita sudah merasakan seperti ini, artinya batang pohon itu sudah menghasilkan daun. Kita sudah sampai pada daun pohon Raja Yoga.
Yang lebih maju lagi di tahap ini adalah seperti yang ditulis di beberapa buku Upanishad, yaitu ketika seluruh hidup kita adalah meditasi. Dari bangun s/d tidur. Dari bekerja s/d istirahat. Semuanya jadi meditasi. Dalam Upanishad, ini disebut "damyata", yaitu : menjaga jarak dengan seluruh kecenderungan yang muncul dari badan dan pikiran.

Kemarahan kita, adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu dia datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini. Kesedihan kita, adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu dia datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini. Kebahagian kita, adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu dia datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini.

5. BUNGA POHON Raja Yoga [Ketika kehidupan kita diliputi shanti -sejuk dan damai].

Kesejukan dan kedamaian bathin itu indah dan merupakan pertanda kita sudah maju dalam Raja Yoga. Yang pertama kali merasakan kesejukan ini adalah diri kita sendiri. Kemudian dirasakan oleh orang-orang terdekat kita [istri, suami, anak]. Kemudian dirasakan semua orang disekitar kita.

Tapi musti dicatat bahwa ini bukanlah akhir perjalanan. Bahayanya kalau kita bertemu dengan kedamaian, kita akan terikat. Orang yang terikat dengan bunga meditasi, dia berharap di semua meditasi dia merealisasi damai. Tatkala tidak damai, kemudian kecewa. Karena itu, ini bukanlah akhir perjalanan. Bunga pohon Raja Yoga bukan akhir perjalanan. Kesejukan dan kedamaian bathin bukanlah akhir perjalanan meditatif.

6. BUAH POHON Raja Yoga [Ketika kita sudah berhenti mencari. Termasuk mencari kedamaian. Ketika kita menyatu dengan hidup itu sendiri].

Maharsi Patanjali dalam Yoga Sutra menulis : "Yoga citta vritti nirodhah" [yoga adalah proses untuk meniadakan riak-riak pikiran]. Dan itulah buah pohon Raja Yoga, pikiran yang sepenuhnya hening. Ini yang dalam vedanta disebut sebagai jivan-mukti.

Orang-orang yang memahami jalan-jalan meditatif, apalagi seorang satguru, kalau ditanya : "dapat apa dalam perjalanan meditatif ?", jawabnya : "tidak dapat apa-apa". Jawaban yang pasti membingungkan buat yang tidak paham. Jalan-jalan meditatif adalah perjalanan tanpa tujuan. Persis seperti air di sungai, dia mengalir sempurna. Mau lama, mau cepat, mau jauh, mau dekat, dia pasti sampai di samudera. Dalam jalan meditatif itulah buah pohon Raja Yoga : ketika kita sudah berhenti mencari, termasuk tidak mencari kedamaian. Mengalir sempurna di sungai kehidupan.

Pendapat, emosi, keinginan dan cara kita memandang kehidupan biasanya dilatarbelakangi [dipengaruhi] oleh memory pikiran kita masing-masing. Sehingga kebanyakan orang memperebutkan kebahagiaan dan melemparkan derita kepada orang lain. Sehingga kebanyakan orang mempertentangkan salah dan benar. Perang, perkelahian, konflik, perdebatan, semuanya berebut menyebut diri ”benar” serta melemparkan ”salah” kepada pihak lain.

Bagi jiwa yang biasa menyatu dengan kealamian alam semesta, akan mengerti kalau ada kesempurnaan dalam kealamian. Cemara tumbuh di gunung yang dingin, kelapa tumbuh di pantai yang panas. Sapi memakan rumput, ular memakan katak. Ayam berlari-lari diatas tanah, bebek berenang di kolam. Semuanya berada di tempat alaminya. Tanpa kata-kata, tanpa analisa, tanpa penghakiman, tanpa pembandingan. Hanya melihat semuanya apa adanya. Siapa saya yang bisa mengalir sempurna dengan kealamian ini, ia sudah menjadi satu dengan kesempurnaan.

Hidup ini laksana taman yang indah. Ada orang baik, ada orang jahat. Ada orang disiplin, ada orang tidak disiplin. Ada orang menyenangkan, ada orang tidak menyenangkan. Ada wanita yang setia sama suaminya, ada wanita yang tidak setia. Taman-pun seperti itu : ada pohon jepun, ada pohon anggrek, ada pohon kelapa, ada rerumputan, dll.

Orang-orang jahat dan orang-orang tidak baik, itu cara dia bertumbuh. Belum tentu dia tidak akan bertumbuh. Kegelapan dan kekotoran bathin, dia juga bisa menjadi jalan pembuka menuju gerbang pembebasan bagi seseorang, bila karena kegelapan dan kekotoran bathin itu kemudian membuat dia menjadi sangat menyesal. lalu kekurangan-kekurangannya itu dia gunakan sebagai janji untuk melaksanakan dharma dengan upaya lebih keras.

Jatuh sakit, kena musibah dan disakiti orang lain [penderitaan] adalah kesempatan kita untuk membayar hutang karma. Hutang karma kita kepada orang lain,mahluk lain,alam semesta dan kesalahan2 masa lalu. Sehat bugar, banyak rejeki dan dipercaya orang adalah kesempatan kita untuk berbagi welas asih dan kebaikan dengan mahluk lain.

Dualitas dalam kehidupan ada bukan sebagai lawan-lawan yang berperang, tapi sebagai satu kesatuan yang saling menghidupkan. Ia yang membadankan ini dalam kehidupan keseharian tidak menyisakan satupun kegelapan, kemarahan, kesedihan dan kebencian dalam hidupnya. Bahagia dilawan menderita, benar dilawan salah, suci dilawan gelap, sehingga riuhlah kehidupan. Dalam keheningan yang sempurna terlihat jelas, semua hal : baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, lenyap dalam RWA BHINNEDA.

Ketika kita bisa melihat semuanya ada di tempatnya masing-masing, ketika kita bisa menyadari semuanya indah dan sempurna sebagai mana adanya : PIKIRAN HENING. Tanpa kata-kata, tanpa hiruk-pikuk keriuhan. Hanya paramashanti yang berkelimpahan di dalam diri.

Siapa saja yang bisa mengembalikan pikiran ke tempat semula sebagai pembantu [bukan sebagai majikan] ia sampai pada buah pohon Raja Yoga. Dan buah pohon Raja Yoga adalah sebuah kehidupan yang paramashanti [damai sempurna]. Hening, sunyi dan sepi sempurna. Kedamaian tidak saja datang dalam hidup, tapi hidup itu sendiri adalah kedamaian. Bukan damai yang berlawankan kekacauan. Bukan damai yang diikuti rasa suka kemudian kecewa ketika ia lenyap. Namun shanti [damai] karena semuanya sempurna dalam kealamiannya. Ketika kita bisa menyadari semuanya indah apa adanya, sebagai mana adanya. Alami tanpa penghakiman dan tanpa penilaian, tanpa dualitas hitam-putih, salah-benar, baik-buruk, melihat semuanya apa adanya. Semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna.

Itu sebabnya di Bali, puncak-puncak spiritualitas selalu diidentikkan dengan keheningan. Tahun baru saka dirayakan dengan hari raya NYEPI [practice of complete silence]. Pada tingkat tertinggi dari Penataran Agung Pura Besakih, Tuhan disebut dengan Sang Hyang Embang [yang maha suci yang hening / sunyi]. Puncak dari ajaran Shiva disebut : "Dakshina Murti" [ajaran Shiva yang hanya bisa ditemukan di dalam diam sempurna]. Dan praktek paripurna dari dharma disebut ”agama tanpa sastra”. Tanpa tulisan, tanpa kata-kata, tanpa hiruk-pikuk keriuhan. Hanya diam dan senyum-senyum saja dalam shanti [damai] yang sempurna.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Kajeng Kliwon, 7 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar